Suku Dunia ~ Bantian adalah salah satu kelompok orang Dayak yang berdiam dalam wilayah Kabupaten Barito Utara, Provinsi Kalimantan Tengah. Orang Bantian antara lain berdiam di desa Tembada, Kecamatan Gunung Purei. Mereka berdiam di lereng-lereng bukit atau ditengah hutan yang berdekatan dengan sungai. Mereka hidup dalam kelompok-kelompok kecil yang letaknya saling berjauhan. Rumahnya merupakan rumah tinggal berdiri di atas tiang setinggi satu setengah meter di atas tanah, dengan ukuran luas rata-rata 5 x 6 meter.
Tiang rumah itu terbuat dari kayu ulin atau kayu telujen, dinding dari kulit kayu, sedangkan lantai dari belahan-belahan bambu. Pada masa lalu mereka hidup berkelompok dalam satu rumah panjang yang disebut berang. Jumlah penduduk Desa Tembaga sebanyak 298 jiwa diantara 2.514 jiwa penduduk Kecamatan Gunung Purei. Orang Bantian mempunyai bahasa sendiri yaitu bahasa Bantian. Sebagian besar dari mereka mengerti bahasa Indonesia, kecuali golongan orang tua-tua.
Mata Pencaharian Suku Bantian
Mereka hidup dari bertanam padi di ladang dengan sistem berpindah-pindah, dengan menggunakan alat-alat sederhana. Ladang berpindah itu bukan semata-mata karena mengikuti tradisi nenek moyang dengan pola berpindah-pindah, tetapi memang karena kesuburan tanahnya yang tidak mendukung untuk ditanami terus menerus. Tentu saja pengetahuan untuk bisa menyuburkan tanah itu dan teknologi pendukungnya juga belum mereka kuasai.
Namun, mereka memiliki konsepsi-konsepsi dan kepercayaan serta tindakan berupa upacara mulai dari menebang hutan sampai kepada saat menuai agar padinya selamat dan berhasil dengan baik. Mereka pun memberi korban untuk roh dan setan penghuni ladang itu. Upacara itu disebut tiwah padi. Selain padi mereka juga bertanam ubi kayu, ubi rambat, keladi, mentimun, sebagai makanan tambahan.
Cara perladangan seperti ini sering menyebabkan kekurangan pangan terutama padi, misalnya dalam periode 1971-1974. Keadaan itu menyebabkan mereka hanya makan ubi, umbut rotan, umbi-umbian yang ada di hutan atau buah-buahan. Sayur dan lauk-pauk adalah daun ubi, pucuk rotan, rebung, ikan, daging hasil buruan yang tidak selalu ada. Pada musim panen padi mereka makan tiga kali sehari, sedangkan pada musim paceklik hanya dua atau satu kali saja.
Sebagai mata pencaharian tambahan adalah meramu hasil hutan, berburu, berkebun, serta membuat anyam-anyaman. Rotan dan damar merupakan hasil hutan terpenting yang diramu. Sampai periode 1970-an, rotan itu lebih sering ditukar (barter) dengan barang kebutuhan seperti beras, garam, tembakau, minyak tanah, pakaian, dan lain-lain.
Dalam keadaan sulit atau paceklik para tengkulak memberi kesempatan untuk meminjamkan barang-barang tertentu yang nantinya diganti dengan rupiah yang seringkali perhitungan harga rotan itu menjadi sangat murah. Di kebun mereka menanam kelapa yang hasilnya belum begitu berarti untuk dipasarkan lebih banyak untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Berburu bukanlah suatu pekerjaan tetap dan binatang buruan adalah babi, kijang, harimau, dan lain-lain. Alat yang digunakan ialah tombak, sumpit, mandau, jerat, serta dibantu anjing. Hasil perburuan itu selain untuk kebutuhan sendiri juga dibagikan kepada tetangga. Mereka tidak mengenal cara pengawetan daging itu sehingga hasil buruan itu dimakan habis dan kalau diperlukan lagi mereka kembali berburu.
Kalau bicara tentang perdagangan, yang lebih tepat disebut sistem barter, maka barang dagangannya adalah rotan, damar, ayam, barang kerajinan, dan sedikit kelapa. Barang kerajinan berupa tikar dan gawang yang dibuat dengan hiasan-hiasan indah. Barang yang juga menjadi incaran pedagang luar adalah barang antik berupa guci, dan piring kuno. Barang ini sering ditukar dengan radio, tape recorder, dan lain-lain.
Kekerabatan Suku Bantian
Dalam sistem kekerabatan mereka menarik garis keturunan secara patrilineal. Warisan lebih banyak diperoleh anak pria dari pada anak wanita karena anak pria dianggap sebagai pengganti orang tua. Perkawinan diawali dengan peminangan apabila seorang pria telah menunjuk seorang gadis pilihannya kepada pihak kerabatnya sendiri.
Peminangan itu biasanya dimintai bantuan seorang tua atau tokoh masyarakat. Apabila pinangan itu diterima dengan membawa persyaratan tertentu, maka sang perjaka diantar ke rumah si gadis dan terus tinggal disana. Sementara kedua makhluk ini sudah bisa melakukan hubungan intim seperti halnya suami istri. Masa ini sesungguhnya masih dapat disebut sebagai masa pertunangan.
Apabila satu waktu sudah ada biaya barulah pihak perempuan mengadakan pesat perkawinan. Adat mereka mengenal mas kawin berupa 5 sampai 10 buah guci (belanai), pakaian, kain. Ibu penganten perempuan juga meminta sali orang buanak, yaitu tebusan biaya perawatan pada waktu melahirkan anak gadisnya itu. Tebusan itu berupa isi kamar tidur, yang pada masa sekarang berupa kasur, kelambu, tikar, bantal, cermin, bedak, sisir, pakaian satu stel, sandal, dan lain-lain. Setelah syarat ini terpenuhi barulah dilangsungkan perkawinan yang disahkan oleh kepala adat (penghulu). Kedua pengantin duduk di atas gong lalu diijabkan atau disahkan.
Selanjutnya, Balian melakukan upacara pengolesan darah binatang (darah ayam atau babi yang dipotong). Pengolesan itu dilakukan dengan uang perak. Olesan itu pertama pada pengantin pria dan kemudian pada pengantin perempuan, yang dioleskan pada keningnya, telapak tangan, dada, telapak kaki. Sementara itu Barlian juga membacakan mantra-mantra, agar kedua mempelai selamat dalam mengarungi bahtera hidupnya. Sebagai imbalan Barlian mendapat sebuah guci, satu buah piring putih, dan uang seikhlas yang punya hajat. Selanjutnya selama satu sampai dua tahun pengantin ini berdiam di lingkungan kerabat istri, kemudian pindah dari selama satu sampai dua tahun di lingkungan kerabat suami. Akhirnya mereka kembali lagi ke lingkungan kerabat istri sampai dibuatkan rumah atau membuat rumah sendiri.
Kehamilan bagi seorang wanita dianggap biasa, namun tidak diperkenankan bekerja yang berat-berat. Selain itu ada beberapa pantangan baik bagi suami atau istri, misalnya tidak boleh memotong ayam, tidak boleh mengurus mayat, membelah kayu, mengayam, dan tidak boleh melihat penyu. Demikian pula peristiwa kelahiran dianggap biasa karena itu merupakan kewajiban wanita. Setelah melahirkan ada larangan bagi wanita itu, misalnya selama satu bulan tidak boleh makan nasi ketan, kelapa, jeruk, dan selama empat hari tidak boleh makan garam.
Kesenian Suku Bantian
Masyarakat ini pun mengenal beberapa jenis kesenian, seperti seni tari, seni suara, dan seni musik. Seni tari diadakan dalam pesta perkawinan, penerimaan tamu, misalnya tari giring-giring yang diikuti bunyi istrumen berupa gong, tengkanong, dan gendang. Tarian ini dibawakan oleh pasang pria dan wanita yang masing-masing memegang bambu yang didalamnya diisi dengan biji jagung yang dengan gerak-gerak tertentu menimbulkan bunyi yang memperindah bunyi instrumen lain-lainnya tadi.
Tari kuntau menyerupai pencak silat atau seni bela diri yang dimainkan oleh pria atau wanita. Tari perang dimainkan oleh dua orang pria yang memegang mandau dan perisai. Tari ini berasal dari tradisi masa lampau untuk menyambut orang-orang yang pulang "perang" atau mengayau, dimana tradisi mengayau itu sekarang sudah tidak ada lagi. Yang tersisa sekarang dalam tarian itu adalah kegagahan dan sifat keberaniannya.
Instrumen musik pengiringnya adalah gong, tengkanong, dan gendang. Tari lain yang hanya dimainkan dalam rangka suatu upacara adat atau kegiatan pengobatan. Tarian ini biasanya dilakukan oleh kepala adat (Penghulu) atau kepala kampung. Salah satu nyanyian yang biasa dinyanyikan di sembarang kesempatan adalah nyanyian bernama dongkoi, misalnya pada waktu sedang memasak, menjaga ladang, menyambut tamu, atau dalam pertemuan muda-mudi. Lirik-lirik pantunnya bersifat bebas tergantung kepada penyanyi dan situasinya.
Agama dan Kepercayaan Suku Bantian
Dalam hal keyakinan agama, masyarakat Bantian seperti di desa Tambaha sudah mengenal agama seperti agama Katolik, Protestan, dan Islam, namun baru pada tingkat pengenalan dan belum banyak yang masuk sebagai penganutnya. Di luar itu, mereka mempunyai kepercayaan warisan leluhurnya. Dalam kepercayaan ini dikenal adanya kekuasaan tertinggi bernama Saniang yang menciptakan alam semesta ini. Saniang berada di langit yang ke tujug yang disebut Pinangkoi. Alam ini diyakini terbagi dua, yaitu alam dunia dan alam atas atau alam roh yang ada di langit ke tujuh tadi.
Dalam menjalankan tugasnya, Saniang dibantu oleh delapan penguasa alam roh itu yaitu yang disebut Berito yang bertugas mencabut nyawa manusia. Jangking, Lebok, Enok bertugas menjaga roh yang hidup agar tidak diganggu oleh setan, jin, dan makhluk-makhluk jahat lainnya. Pengelengai, Jaga, Pengenyantoh, bertugas menjaga roh orang yang telah meninggal, dan juga Kelelungan yang bertugas membagi rezeki. Orang Bantian juga percaya bahwa roh (lian) ada juga dalam berbagai benda, seperti pada batu, kayu atau tumbuh-tumbuhan. Benda-benda seperti mandau, tombak, dipercayai mempunyai kekuatan gaib. Mereka percaya pula bahwa makhluk-makhluk halus atau setan ada yang jahat dan ada yang baik. Makhlus halus yang jahat misalnya merua, biang bilau, rimau, bonggai, dan lain-lain, sedangkan yang baik misalnya tontin, bausi, biang nangka, Tumenggung datu, dan lain-lain. Karena itu mereka biasanya menyediakan sajen atau upacara untuk menolak setan jahat tadi.
Sumber : Ensiklopedi Suku Bangsa Di Indonesia oleh M. Junus Melalatoa
0 Response to "Sejarah Suku Bantian"
Posting Komentar