Sejarah Kebudayaan Suku Bada

Suku Dunia ~ Bada adalah satu kelompok yang berdiam dalam wilayah Kecamatan Lore Selatan, yang termasuk dalam Kabupaten Poso, Provinsi Sulawesi Tengah. Wilayah Kecamatan Lore Selatan ini biasa pula disebut Daerah Bada. Wilayah yang terletak di pedalaman Sulawesi ini sejak lama terisolasi dari dunia luar karena tiadanya prasarana perhubungan. Paling tidak sampai dengan akhir tahun 1970-an, kalau orang harus keluar dari Gintu, Ibu Kota Kecamatan tadi, untuk mencapai jalan raya, harus berjalan kaki dua sampai tiga hari non-stop. Mereka bermukim di daerah yang subur, yang kaya dengan flora dan fauna.


Orang Bada biasanya dianggap sebagai bagian dari suku bangsa Lore yang keseluruhannya berdiam juga di Kecamatan Lore Utara dan Kecamatan Poso Pesisir. Karena itu informasi tentang kebudayaan orang Bada adalah sama dengan yang biasa dilukiskan dalam rangka kebudayaan Lore. Padahal dalam keseluruhan yang disebut orang Lore itu masih terdapat variasi budaya, paling tidak dalam hal bahasa. Orang Bada memiliki bahasa sendiri yaitu bahasa Bada, disamping itu masih ada bahasa Napu, bahasa Sedoa, bahasa Rampi. Sesuai dengan pengkategorikan orang Bada sebagai dari orang Lore, unsur-unsur budaya tertentu dilukiskan dalam rangka mendeskripsikan suku bangsa Lore.

Hasil penelitian tentang komunitas kecil orang Lore diperoleh gambaran tentang budaya khusus tentang Orang Bada. Pasa masa lalu orang Bada memiliki tempat pemukimannya di bukit-bukit dengan pola mengelompok untuk alasan keamanan karena sering terjadi perang dengan kelompok lain. Sekarang sudah tidak ada perang lagi, tetapi pola mengelompok itu masih tetap dan mereka sudah bermukim di daerah dataran atau lembah-lembah daerah yang ada sumber mata air dan subur.

Dalam sebuah desa terdapat kumpulan rumah tempat tinggal (tambi), lumbung padi (buho), rumah adat (duhunga), dan gereja. Masjid hanya ada satu di kota kecamatan tadi. Selain itu ada gubuk (bamburu) yang dibuat di tengah sawah, dan pondok di ladang (pangka) yang digunakan sebagai tempat berteduh waktu musim sibuk. Rumah adat tadi di masa lalu digunakan sebagai tempat musyawarah yang dipimpin oleh raja (Tuana), dan juga sebagai tempat upacara adat dan upacara perkawinan. Ciri-ciri bangunan rumah tadi antara lain, pondasi rumah itu berupa balok-balok yang ujung pangkalnya berada di atas batu. Di atas balok itulah dibuatkan lantai dan didirikan tiang-tiang bagian atas. Atap bangunan itu biasa dari bahan ijuk atau bambu. Pada bubungan biasa ada tanduk kerbau. Pekuburan umum biasanya terletak di pinggir desa.

Dalam sistem kekerabatan mereka menganut prinsip patrilineal, artinya menarik garis keturunan pada pihak laki-laki. Mereka hidup dalam kelompok kerabat keluarga inti dan keluarga luas. Dalam keluarga inti, adat mereka mengajarkan sopan santu dimana orang tua amat dihormati. Mereka juga mengenal adat teknonimi, dimana seseorang disapa dan disebut dengan menyertakan nama anak yang sulung. Anggota keluarga luas yang biasanya tinggal dalam satu rumah biasa sangat menonjolkan nilai tolong-menolong antara sesama dalam melaksanakan berbagai pekerjaan.

Pada masa-masa yang lalu masyarakat lembah Bada ini merupakan sebuah kerajaan kecil yang dipimpin oleh Raja (Tuana). Melalui sejarah lisan, diketahui raja yang pertama seorang gadis dari kampung Bulili dan melahirkan turunan seorang putra bernama Lapabada, yang kemudian menggantikan ayahnya. Demikian raja yang berikutnya tetap merupakan keturunan dari Manuru yang berlanjut sampai masa pemerintahan Belanda dan berakhir setelah zaman kemerdekaan RI. Struktur kepemimpinan kerajaan pada masa lalu itu dimana kekuasaan terpusat pada raja (Tuana), yang dibantu oleh Ketua Adat (Pabisara) dan Panglima Perang (Kabilaha). Ketua Adat tadi membawahi wilayah pemukiman tertentu dan ia dibantu oleh yang disebut "Orang baik-baik" (Tuana Maroa).

Struktur kepemimpinan seperti tersebut diatas menyebabkan adanya stratifikasi sosial yang terdiri atas empat lapisan pada masa lalu itu. Lapisan atas terdiri dari raja (Tuana) dan keturunannya. Lapisan kedua adalah para panglima perang (Kabilaha) dan keturunannya. Lapisan ketiga adalah masyarakat biasa terutama orang yang baik-baik (Tuana Maroa) dan lapisan keempat adalah para budak (Hawik), yakni tawanan perang, pembunuh, pemerkosa, yang mengkhianati kerajaan. Lapisan-lapisan itu dapat dikenali antara lain melalui atribut-atribut tertentu, misalnya pakaian, destar, alat, rumah. Semua itu berbeda antara raja dan keturunannnya dengan orang kebanyakan tadi. Kaum pria dari lapisan pertama dan kedua memakai pakaian adat seperti celana (puruka sangke), baju (badu bandara), destar (siga) dan parang kerajaan (tiho), sedangkan para wanitanya memakai blus (kalava), rok (wini), ikat kepala (pohea), dan gelang (kala bulohu). Selain itu mereka berdiam di rumah dengan ukuran yang lebih besar dan ditandai pula dengan tanduk kerbau pada bubungannya. Semua atribut ini tidak ada pada orang kebanyakan.

Kini dasar pelapisan sosial itu sudah mulai bergeser. Tokoh-tokoh pemimpin formal seperti Camat, guru, pegawai dalam lapangan keagamaan mulai mendapat tempat baru dalam pandangan mereka. Namun, tokoh-tokoh adat tadi masih mereka hargai. Yang sudah tidak ada ialah lapisan budak tadi.

Dalam hal religi, dahulunya mereka menganut sistem kepercayaan yang disebut Khalaik, sistem kepercayaan nenek moyang. Sistem kepercayaan ini menjadi acuan dalam berbagai upacara daur hidup, mulai dari kelahiran, masa kanak, masa remaja, perkawinan, sampai kepada kematian. Sistem kepercayaan ini menjadi acuan pula dalam rangka pertanian, mendirikan rumah, menempati rumah baru, penyembuhan penyakit. Mereka mengenal upacara walia, dimana lewat upacara ini mereka memohon kepada Tuhan (Khalaik) agar hidup tentram, pertanian berhasil, murah rezeki, minta hujan, sembuh dari penyakit, dan lain-lain. Kini sebagian besar dari mereka memeluk agama Kristen Protestan. Agama ini secara bertahap menggeser sistem kepercayaan lama tadi.

Sumber : Ensiklopedi Suku Bangsa Di Indonesia oleh M. Junus Melalatoa

0 Response to "Sejarah Kebudayaan Suku Bada"

Posting Komentar