Sejarah Suku Jailolo

Suku Dunia ~ Orang Jailolo berdiam di pulau Halmahera, yang termasuk wilayah Kabupaten Maluku Utara, Provinsi Maluku. Kini wilayah asal kelompok ini berada dalam satu wilayah administratif, yakni Kecamatan Jailolo. Wilayah Kecamatan ini terdiri atas 47 buah desa.


Data tahun 1978 menunjukkan penduduk Kecamatan ini berjumlah 19.097 jiwa. Ada pun latar belakang penduduk itu, selain orang Jailolo ada pula penduduk asal lainnya seperti orang Tobaru, orang Sahu, serta anggota suku bangsa Jawa, Minahasa, Ambon, Sangir, dan Makian.

Orang Jailolo umumnya memeluk agama Islam. Agama ini memang telah berakar di sini sejak pertengahan abad ke-15 yang datang melalui pedagang-pedagang Arab yang mencari cengkeh.

Pada masa yang lebih akhir, lingkungan alam wilayah Kecamatan Jailolo terdiri atas 61 % hutan primer, 35 % hutan sekunder, dan 4 % rawa. Jenis-jenis kayu yang penting adalah kayu besi, kayu gopasa, kayu linggua, kayu bohe, kayu bakau. Hasil hutan lainnya, disamping kayu tadi, adalah rotan, damar, sagu serta kopra.

Jenis tanah di Kecamatan ini adalah tanah Aluvoal dan tanah Regosol. Jenis tanah ini memang cukup baik untuk penanaman bahan makanan dan tanaman perkebunan. Orang Jailolo umumnya hidup dari pertanian, dengan tanaman kelapa, pala cengkeh, coklat, kopi. Hasil pertanian lainnya adalah bayam, kangkung, petai, lombok, dan buah-buahan. Jailolo merupakan gudang pangan bagi Ternate. Jarak antara Jailolo dengan Ternate memang relatif dekat, yang bisa ditempuh selama satu setengah jam dengan perahu motor.

Orang Jailolo melakukan upacara waleng dalam rangka pertanian, terutama pada waktu membuka ladang baru, pada musim bertanam, dan musim pangan. Pada waktu membuka ladang baru dan pada musim bertanam, melalui upacara itu mereka memohon berkat kepada Yang Maha Kuasa agar diberi hasil memuaskan. Pada musim panen mereka mengungkapkan rasa syukur karena telah dilimpahi rezeki. Ketika masyarakat Jailolo belum dipengaruhi agama Islam, upacara ini ditujukan kepada dewa pencipta alam semesta yang disebut Kokiraba, namun kini mereka memohon berkat dan menyampaikan rasa syukurnya kepada Allah SWT. Namun sisa adat yang lalu masih saja tampak sampai sekarang.

Upacara ini dilaksanakan pada waktu dan tempat tertentu, serta dengan peralatan dan oleh pelaku-pelaku tertentu. Untuk waktu pelaksanaan upacara harus dicari hari baik berdasarkan hasil musyawarah badan adat yang disebut kobota. Hari baik itu diperoleh berdasarkan hasil pengamatan terhadap gejala-gejala alam serta berdasarkan perhitungan tertentu. Tiga hari sebelum upacara dilaksanakan, koseba, yang bertindak sebagai penanggung jawab upacara, mengadakan hubungan dengan alam roh, agar upacara itu tidak mendapat gangguan. Lama pelaksanaan upacara tergantung pada isyarat yang muncul pada acara pemotongan buah jeruk. Apabila pada pemotongan itu biji jeruk terlepas tiga buah, upacara itu akan berlangsung selama tiga hari.

Upacara dilakukan di sekitar sebuah rumah khusus berupa rumah mini yang disebut rumah kaseba. Di dalam rumah itu ditempatkan meja dan kursi mini yang diberi hiasan daun enau muda (wowe). Selama upacara, rumah itu dibayangkan akan ditempati oleh kokiraba. Perlengkapan lain adalah ramuan obat-obatan dan bejana berisi air laut, serta kemenyan yang dibakar.

Badan adat (kobota) yang menyelenggarakan upacara itu diketahui oleh kepala desa (nyara), dengan guru koseba sebagai penanggung jawab upacara, dan kalifa sebagai pemimpin upacara. Selain itu ada pula sekelompok pria yang berstatus murid dalam upacara ini. Para murid ini melakukan tarian tertentu dan tarian inilah yang menentukan hadir tidaknya kokiraba dalam upacara ini. Apabila ada di antara murid-murid tersebut yang kesurupan (trance), itu berarti bahwa kokiraba telah hadir, dan berarti pula bahwa permohonan mereka telah terkabul.

Sumber : Ensiklopedi Suku Bangsa Di Indonesia oleh M. Junus Melalatoa

0 Response to "Sejarah Suku Jailolo"

Posting Komentar