Sejarah Suku Donggo

Suku Dunia ~ Orang Donggo adalah salah satu kelompok sosial, merupakan penduduk asal yang berdiam di sebagian wilayah Kabupaten Dompu, dan wilayah Kabupaten Bima di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Beberapa sumber tertulis menunjukkan bahwa wilayah asal mereka ini adalah di Kecamatan Donggo, Kabupaten Bima, serta empat wilayah kecamatan di Kabupaten Dompu, yaitu Kecamatan Huu, Dompu, Kempo, dan Kilo. Wilayah keempat Kecamatan ini memang berbatasan dengan Donggo tadi. Orang Donggo menggunakan bahasa Mbojo seperti juga anggota suku bangsa Mbojo (Bima).

Latar Belakang Sejarah Suku Donggo

Orang Donggo menganggap mereka berasal dari daerah Swangga, suatu tempat yang terletak di suatu pegunungan yang tinggi dan terpencil. Pada waktu itu mereka hidup dalam kelompok-kelompok kecil, dan setiap kelompok dipimpin oleh pimpinan yang disebut Naka-Niki. Antara kelompok-kelompok kecil itu sering terjadi perang atau konflik. Pada waktu itu, mereka mengembangkan pola hidup bersifat nomaden dan hidup dari berburu. Zaman ini mereka sebut zaman Naka-Niki. Mereka juga menyebut zaman ini sebagai zaman "terbang" (ngemo), karena waktu itu orang yang meninggal tidak dikubur tetapi terbang dan menghilang begitu saja.

Perjalanan waktu menyebabkan terjadi perubahan dimana mereka tidak lagi hidup di pegunungan dengan kehidupan yang keras tadi. Mereka mulai turun ke dataran rendah. Di sini mereka secara berangsur-angsur berkomunikasi dengan kelompok lain, diantaranya dengan yang datang dari luar. Perubahan yang terjadi antara lain semakin berkurangnya konflik antar kelompok. Di samping berburu mereka mulai menetap dan bercocok tanam, terbentuk kelompok-kelompok semacam klen (rafu), masuknya unsur-unsur agama Hindu.

Kelompok-kelompok sosial menjadi semakin besar. Adat istiadat semakin berkembang pula. Pimpinan kelompok yang sudah menjadi lebih besar itu disebut Neuhi. Sekitar abad ke-14 kedudukan dan peranan neuhi itu sudah amat kuat.

Pengaruh agama Katolik dan Agama Islam baru masuk dalam abad ke-20 ini. Dengan masuknya ajaran agama itu, masyarakat Donggo semakin terbuka dengan dunia dan masyarakat luar. Mereka kemudian dengan lebih cepat menerima pembaharuan-pembaharuan. Keadaan alam yang bergunung-gunung yang ganas, menyebabkan mereka kemudian turun ke daerah yang lebih rendah di sekitar daerah Donggo sekarang. Akhirnya mereka bertemu dan bercampur dengan kelompok lain yang datang dari luar, misalnya dari flores, Ambon, dan lain-lain. Dengan adanya pengetahuan dari orang luar itu barulah mereka menetap dan membuat rumah.

Mata Pencaharian Suku Donggo

Sejak lama, mereka melakukan pertanian ladang dengan sistem tebas bakar (ngoho). Setelah pembakaran pohon yang ditebang dilaksanakan pembersihan sisa bakaran (boro). Kemudian lahan itu siap untuk ditanami sambil menanti hujan, tetapi sebelumnya ada upacara raju untuk menentukan hari yang tepat untuk bertanam. Selanjutnya ada upacara kadaki yaitu pengusiran hama kalau tanaman itu sudah cukup besar dan sambil menanti datangnya masa panen. Pertanian sawah belum lama dikenal oleh masyarakat.

Kegiatan berburu sudah berakar lama dalam masyarakat ini. Berburu biasanya dilaksanakan dalam kelompok yang dilakukan seminggu atau sebulan sekali. Mereka juga melakukam perburuan massal setahun sekali. Pembagian hasil buruan tergantung kepada banyak sedikitnya tenaga dan jasa yang diberikan oleh seseorang. Namun kalau hasil buruannya cukup banyak maka daging buruan itu akan diberikan secara cuma-cuma kepada penduduk kampung. Hasil binatang buruan itu mereka tafsirkan pada hasil pertanian. Apabila mereka banyak memperoleh kijang (maju), maka hasil pertanian diperkirakan akan kurang, sedangkan kalau mereka banyak memperoleh babi (wawi), maka mereka tafsirkan hasil pertanian akan melimpah. Ternak yang dipelihara adalah sapi, kuda, kambing, kerbau, ayam, dan babi. Ukuran kekayaan pada masyarakat ini adalah luasnya sawah, ladang, dan banyaknya ternak.

Kekerabatan Suku Donggo

Kelompok kerabat keluarga batih adalah keluarga batih patrilineal. Dalam keluarga batih seorang ayah sangat dihormati dan mempunyai kekuasaan yang lebih besar. Apabila terjadi perceraian maka anak-anak akan berada dipihak suami, sedangkan isteri dikembalikan kepada keluarganya dan hanya menerima benda-benda pusaka serta sebagian dari harta yang didapat sebelum bercerai. Beberapa istilah kekerabatan dalam keluarga inti adalah ama untuk ayah, ina untuk ibu, wi untuk istri, rahi untuk suami, anak sulung adalah ulu, anak bungsu disebut cumpukai, dan lain-lain. Satu keluarga yang anggotanya selain keluarga inti, tapi ada anggota kerabat lain, misalnya nenek, bibi, atau kemenakan dan kelompok kerabat semacam ini disebut ngge'e la'bo.

Suatu kebiasaan mereka di masa lalu menjodohkan anaknya sejak masih kecil, dan rata-rata kawin muda. seorang wanita sudah cukup syarat untuk kawin kalau sudah datang masa haid dan sudah pandai bertenun. Sekarang kebiasaan itu sudah banyak berubah. Pranata berpacaran agaknya tidak dikembangkan dalam masyarakat ini. Kalau seseorang anak laki-laki menginginkan seseorang gadis ia langsung saja menyatakan keinginan itu kepada orang tuanya. Orang tuanya akan melakukan peminangan. Kalau pinangan itu diterima dan satu waktu mereka pun bertunangan. Kalau sudah bertunangan maka si perjaka wajib mengabdi atau bekerja menolong calon mertuanya sampai tiba masa perkawinannya. Mas kawin yang diminta adalah uang, rumah, kerbau, dan ternak lainnya.

Daur hidup masyarakat ini antara lain sesudah melahirkan, sang bayi disusukan oleh saudara dekat dari yang bersalin itu. Selama tujuh hari setelah melahirkan api di dapur tidak boleh mati. Setelah bayi berumur tujuh hari ada upacara pemberian nama (cafe sari). Bagi mereka yang beragama Islam dilakukan sunatan baik untuk laki-laki maupun bagi anak perempuan. Anak laki-laki disunat pada usia 5-6 tahun. Dalam rangka sunatan ini masih juga dilakukan upacara berdasarkan tradisi setempat, misalnya acara mako, yaitu memberi semangat kepada sang anak. Anak ini sambil memegang keris mengucapkan pantun-pantun tertentu dengan diiringi bunyi-bunyian seperti gendang.

Agama dan Kepercayaan Suku Donggo

Kini sebagian besar orang Donggo memeluk agama Islam dan sebagian lainnya beragama Kristen. Sebagai contoh dari 20.724 jiwa penduduk kecamatan Donggo pada tahun 1986, di antaranya 97 % beragama Islam, 3 % beragama Kristen.

Orang Donggo juga pernah mengenal dan mempercayai kekuatan gaib, yaitu "Dewa Langit" (Dewa Langi), "Dewa Air" (Dewa Oi), dan "Dewa Angin" (Dewa Wango). Dewa langit tadi dulunya dianggap yang paling berkuasa dan berada di atas awan dan matahari. Dewa Angin tadi mereka puja kalau ada wabah penyakit, sedangkan Dewa Air kalau ada musim kemarau panjang yang mengancam tanaman mereka.

Sumber : Ensiklopedi Suku Bangsa Di Indonesia oleh M. Junus Melalatoa

0 Response to "Sejarah Suku Donggo"

Posting Komentar