Sejarah Suku Lio

Suku Dunia ~ Lio adalah suku bangsa yang merupakan salah satu kelompok penduduk asal pulau Flores di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Ada pendapat bahwa orang Lio merupakan kelompok tertua di pulau Flores itu. Wilayah pemukiman orang Lio ini sekarang menjadi wilayah beberapa kecamatan, yaitu kecamatan Ndona, Kecamatan Detusoko, Kecamatan Wolowaru, dan Kecamatan Mourole, yang merupakan bagian dari Kabupaten Ende. Ini berarti wilayah kediaman orang Lio ini mencakup sebagian besar wilayah Kabupaten Ende, sedangkan selebihnya tiga kecamatannya lainnya, yaitu Kecamatan Nangapanda, Ende, dan Kopeta Ende merupakan wilayah asal suku bangsa Ende. Orang Lio juga ada yang bermukim dalam Kecamatan Paga, yang merupakan bagian dari Kabupaten Sikka. Orang Lio memiliki bahasa sendiri yaitu bahasa Lio yang digunakan oleh anggota masyarakat di Kecamatan atau komunitas-komunitas tersebut di atas tadi.


Di pulau Flores ini, orang Lio bertetangga dengan beberapa suku bangsa asal lainnya, misalnya orang Ende tadi, orang Sikka di Kabupaten Sikka, orang Ngada di kabupaten Ngada. Dilihat dari kebudayaannya, orang Lio tidak menunjukkan perbedaan yang besar dengan kebudayaan orang Ende, Sikka, Ngada, Riung, Nagekeo. Perbedaan kebudayaannya agak lebih berbeda dengan kebudayaan orang Manggarai, dan orang Lamaholot. Perbedaan itu juga tampak dari ciri-ciri fisik orang Lio dan beberapa suku bangsa tersebut di atas yang menunjukkan ciri Melanesoid, sedangkan orang Manggarai lebih banyak menunjukkan ciri Mongoloid-Melayu.

Kabupaten Ende yang luasnya 2.046,5 km2, di bagian utara menghadap Laut Flores, sebelah barat bertautan dengan wilayah Kabupaten Ngada, sebelah selatan menghadap ke laut Sawu, dan di bagian timur berbatasan dengan kabupaten Sikka. Kabupaten Ende ditandai oleh lingkungan alam yang bergunung-gunung pada bagian tengah, dan di sela-selanya mencuat gunung Wowonato (1.200 meter), gunung Kelimutu (1.690 meter). Sebaliknya pesisir utara dan selatan berupa dataran rendah yang sempit. Sungai-sungai yang ada tidak begitu berarti untuk pertanian atau perhubungan, bahkan ada sungai yang biasa kering pada musim kemarau.

Gunung Kelimutu tersebut di atas mempunyai "keunikan" tertentu karena terdapat tiga danau yang airnya menunjukkan warna yang berbeda, coklat, biru, dan hijau. Pada masa lalu warna masing-masing danau itu pernah berwarna lain dibandingkan dengan yang ada sekarang. Masyarakat setempat memberi nama tersendiri sesuai dengan legenda rakyat yang turun temurun. Danau yang kini berwarna coklat, yang sebelumnya pernah berwarna putih, lalu hitam pekat, berukuran sekitar 850 x 700 meter dengan volume air 345.000 m3. Danau ini diberi nama "danau arwah orang-orang tua" (Tiwu Ata Mbupu). Danau yang sejak tahun 1973 sampai sekarang berwarna biru, pada tahun 1950 masih berwarna merah darah dan berubah warna hijau daun sejak tahun 1967, berukuran sekitar 600 x 300 meter dengan volume airnya 446.000 m3. Danau ini diberi nama "danau arwah tukang tenung" (Tuwu Ata Polo). Danau yang letaknya di tengah yang sejak tahun 1973 sampai sekarang berwarna hijau, sedangkan sebelumnya berwarna biru laut, berukuran sekitar 600 x 380 meter dengan volume airnya 501.000 m3. Danau ini diberi nama "danau arwah muda-mudi" (Tiwu Nua Mori kooh fai). Secara umum mereka menaruh kepercayaan bahwa danau-danau ini adalah keramat.

Di pihak lain, hasil penelitian menunjukkan bahwa air danau-danau ini bening seperti biasa. Warna-warni itu disebabkan oleh dasar batu-batuan yang mengandung kristal senyawa. Karena sifat tertentu maka kristal-kristal itu berpantulan dan membias di air yang menimbulkan bayangan warna. Perubahan warna disebabkan kegiatan formula di bawah permukaan meningkat dan pengaruh endapan belerang. Secara geologis, lapisan bumi di pulau Flores umumnya masih tergolong muda sehingga keadaannya masih cukup labil.

Pola Perkampungan Suku Lio

Orang Lio umumnya berdiam dalam kampung-kampung yang disebut Nua. Satu kampung biasanya dihuni oleh kelompok-kelompok klen yang anggotanya masih ada hubungan kerabat. Sesuai dengan tradisi sebuah kampung dari orang Lio ini terdiri dari beberapa unsur bangunan, lapangan tempat upacara, beberapa unsur bangunan batu yang juga terkait dengan upacara atau persembahan sesuai dengan sistem kepercayaan leluhur.

Unsur bangunan penting dalam sebuah kampung ialah rumah adat yang disebut Sao Ria. Rumah adat ini berupa bangunan berbentuk panggung dengan ukuran relatif besar. Bangunan ini tidak dilengkapi jendela, karena atap rumah itu membentang dari atas sampai ke batas dinding bagian bawah. Kolong rumah yang disebut Lewu yang berfungsi menjadi kandang hewan seperti babi, ayam, anjing. Ruang di bagian atas yang dinamakan One menjadi tempat hunian pemiliknya dan ada sebuah ruangan khusus (Padha) sebagai tempat menyimpan benda-benda upacara.

Bangunan lainnya adalah Kedha atau Bhaku berupa bangunan kecil tanpa dinding yang terletak di depan rumah adat tadi. Bangunan ini berfungsi sebagai tempat pertemuan informal atau menerima tamu yang berasal dari luar kampung. Kompleks perkampungan ini dilengkapi pula dengan lumbung pangan (Kebo) yang dimiliki oleh setiap keluarga. Agak lebih jauh dari rumah adat tadi berdiri sebuah bangunan kecil (Lewa) sebagai tempat memasak daging hewan-hewan besar dalam rangka pesta atau upacara adat.

Di depan rumah adat tadi ditancapkan sebuah tonggak kayu (saga) yang tingginya sama dengan lantai Sao Roa. Di atas tonggak kayu itu ditaruh sebuah batu ceper bulat tempat, menaruh persembahan sirih-pinang bagi Du'a Ngga'e. Di depan Sao Ria dan Kedha ada pelataran bunder yang dikelilingi pagar batu. Di tengah pelataran itu ada pula dua buah batu. Batu yang berdiri tegak di sebut Tugu Musu yang melambangkan hubungan langit dan bumi. Di sampingnya terletak batu ceper yang disebut Musu Mase yang merupakan tempat menaruh persembahan bagi nenek moyang. Di tengah pelataran itu terdapat pula sebuah kuburan khusus bagi Ine Ame atau kepala adat selama menanti dimasukkan ke dalam peti yang tetap yang disebut Bhaku. Keseluruhan pelataran ini dianggap sebagai tempat suci.

Pada masa-masa yang lebih akhir ini pola perkampungan orang Lio sudah mulai berubah yang ditandai dengan berdirinya bangunan rumah dengan arsitektur baru karena pengaruh luar. Kecenderungan tidak lagi mendirikan rumah dengan arsitektur tradisional dengan alasan biaya pembangunannya yang lebih mahal dibandingkan dengan rumah model baru. Pembangunan rumah tradisional itu harus diiringi dengan upacara-upacara yang membutuhkan biaya. Di pihak lain Pemda setempat menghimbau masyarakat untuk tetap mempertahankan arsitektur tradisional itu untuk kepentingan pariwisata, misalnya di Moni sebagai pusat wisata di sekitar Kelimutu.

Kelompok sosial yang sangat penting dalam masyarakat Lio ialah apa yang disebut "suku". Kelompok ini dikatakan mewujudkan struktur piramidal, yang dipuncaknya duduk kepala suku yang secara turun temurun dijabat oleh anak laki-laki sulung.  Ia berstatus dan bertindak sebagai "orang tua" (Ine Ame) dan disebut pula sebagai "ahli waris" (Teke Ria Fai Nggae). Warga suku yang masih seketurunan dengan Laki Ine Ame dinamakan Aji Ana, artinya sama dengan adik dan anak. Selanjutnya warga yang tinggal dalam kampung itu, namun tidak ada hubungan kerabat dengan kepala suku tadi disebut Fai Walu. Warga semacam ini tidak mendapat warisan yang berasal dari nenek moyang suku, akan tetapi bila ia berjasa terhadap suku akan diberi imbalan tertentu.

Dalam hal perkawinan, rupanya dapat kawin antara orang dalam satu suku atau mencari jodoh keluar dari sukunya. Kawin dalam satu suku dan pasangan orang yang berbeda suku telah menyebabkan adanya perbedaan etika adat pergaulan antara kerabat tertentu. Seorang laki-laki yang kawin dengan wanita sesuku menyebabkan laki-laki itu mweujudkan hubungan sungkan (avoidance relationship) dengan mertua perempuannya. Adat sopan santun pergaulan yang bersifat sungkan dengan mertua perempuan ini disebut wajib leu artinya "wajib menyingkir". Adat ini meliputi pantang menyebut nama, pantang melihat rupa dan bersentuhan secara fisik dengan calon ibu mertua atau sesudah menjadi ibu mertua. Adat ini timbul setelah adanya pelanggaran incest antara seorang laki-laki yang kematian isteri dengan mertuanya, dimana pelanggaran itu ada di dalam ceritera rakyat orang Lio itu.

Dalam hal kepemimpinan suku dikenal beberapa unsur. Selain kepala suku tersebut diatas ada unsur Ata Laki yang berperanan sebagai pengawal atau penjaga tanah, berperan dalam menyelenggarakan upacara adat yang berhubungan dengan pertanian dan siklus hidup manusia. Ria Bewa adalah orang yang berperan sebagai penjaga berfungsinya hukum adat, sebagai hakim yang menyelesaikan berbagai perkara terutama yang menyangkut masalah tanah. Ia juga berperan sebagai panglima perang yang menjaga batas tanah suku yang dipertahankan dari gangguan musuh. Kepemimpinan adat yang merupakan sebuah dewan yang bertanggung jawab atas keutuhan dan kesejahteraan masyarakat Lio itu disebut Mosalaki.

Dalam kehidupan sosial, mereka mengenal sejumlah nilai, seperti tolong-menolong (rapa laka atau poa laka) misalnya dalam pembuatan rumah atau mengerjakan kebun. Tolong-menolong dalam bentuk materi sesuai adat, karena ada timbang rasa terwujud dalam rangka kawin-mawin, pesta, kedukaan. Berita duka dinyatakan dengan terdengar bunyi paka bele, yang menyebabkan orang berusaha datang ke rumah duka. Mereka datang dengan sumbangan berupa bahan makanan, hewan sembelihan untuk meringankan beban keluarga yang sedang berduka. Para wanita menyatakan turut bersedih dengan ikut menangisi si mati, dan pada waktu itu segala pertikaian sudah harus selesai agar jiwa si mati pergi dengan tenang.

Mereka pun menjunjung tinggi sikap ramah-tamah yang terwujud ketika bertemu di jalan atau dalam melayani tamu dirumah. Keharmonisan dalam kehidupan sosial antara lain diwujudkan dalam pesta ubi (ka uwi), yang diselenggarakan setahun sekali untuk memelihara kerukunan antara sesama warga. Kerukunan itu dijalin pula dalam pesta yang menyatakan rasa syukur atas keberhasilan panen (ria nggua), disamping komunikasi antara sesama warga juga dengan leluhur dan kerabat lain yang sudah meninggal.

Leluhur orang Lio telah mewariskan sejumlah tarian yang masih hidup sampai kini, misalnya tarian Gawi, Wanda Pala, Simo Sau, Sanggu Alu, dan Hai Nggaja, Tarian-tarian ini merupakan tarian yang dibawakan secara berkelompok, yang digelar di halaman kampung yang menggambarkan kegembiraan dan keperkasaan orang Lio. Tarian ini mengiringi pesta adat atau dalam menerima tamu.

Orang Lio pun mengembangkan seni pahat dan arsitektur lewat rumah adat Sao Ria yang khas, dengan relief pada dinding-dindingnya. Mereka mengaktifkan diri dalam seni patung, seperti Ana Deo, yang dikeramatkan sebagai penunggu rumah adat. Kaum wanitanya menghasilkan tenunan tradisional dengan motif-motif khas pada kain sarung, selimut, selendang. Tenunan ini semula ditenun untuk kebutuhan di lingkungan sendiri, tapi kini sudah melayani permintaan pasar.

Agama dan Kepercayaan Suku Lio

Sistem kepercayaan dari leluhur masyarakat Lio mengenal kekuasaan tertinggi yang menciptakan alam dan manusia, bernama Ndu'a Ngga'e. Ndu'a Ngga'e ini berarti "Yang tua atau yang berumur, yang berbudi luhur dan murah hati". Nama ini sebenarnya punya sebutan yang panjang : "Du'a Gheta Lulu Wula, Ngga'e Ghale Wena Tana, yang berarti "Yang tua, yang tinggal jauh di atas, di balik bulan, berbudi luhur, yang tinggi jauh di bawah di dalam bumi". Kekuasaan tertinggi adalah sesuatu yang tidak kelihatan dan sukar dipahami, namun dapat dialami dalam berbagai peristiwa, seperti kelahiran, kematian, panen yang melimpah, bencana kelaparan, dan lain-lain.

Selain kekuasaan tertinggi tadi, mereka juga percaya kepada adanya roh-roh (Nitu). Roh itu ada yang bersifat baik dan melindungi, misalnya Nitu Dai sebagai roh pelindung rumah; Nitu Nua sebagai roh pelindung kampung; Nitu Ae adalah roh pelindung air dan sungai; Nitu Ngebo adalah roh pelindung hutan. Di samping itu ada roh yang jahat dan merusak, misalnya Nitu Ree roh yang berkeliaran di sekitar perkampungan yang merusak kebun; Nitu Longgo Mbega roh yang suka mencelakakan anak-anak; Ulu Ree adalah roh yang menggoda pria dan wanita agar berbuat zina. Berdasarkan sistem kepercayaan ini mereka melaksanakan berbagai upacara.

Data statistik Kabupaten Ende tahun 1986 menunjukkan bahwa sekitar 70 % dari 217.212 jiwa penduduk Kabupaten ini memeluk agama Katolik. Selebihnya beragama Islam, Kristen, Hindu, dan Buddha. Namun tidak jelas berapa jumlah orang Lio sendiri yang memeluk agama tersebut.

Sumber : Ensiklopedi Suku Bangsa Di Indonesia oleh M. Junus Melalatoa
 

0 Response to "Sejarah Suku Lio"

Posting Komentar