Sejarah Dan Kebudayaan Suku Gayo Lut

Suku Dunia ~ Gayo Lut, adalah salah satu sub kelompok orang Gayo yang daerah asalnya berada dalam wilayah Kabupaten Aceh Tengah di propinsi Daerah Istimewa Aceh. 

Kelompok ini mendiami sembilan buah kecamatan yaitu kecamatan Kota Takengon, Bebesen Bukit, Tunang Gajah, Bandar, Silih Nara, Pegasing, Bintang dan Kecamatan Linge. Kecamatan yang terakhir ini sebenarnya dulunya merupakan wilayah satu kelompok kecil tersendiri yang disebut "Gayo Deret" yang dalam deskripsi ini digabungkan di bawah satu nama Gayo Lut.


Sesungguhnya kelompok ini mempunyai latar belakang sejarah yang tua. Pada masa lalu daerah ini merupakan pusat Kerajaan Linge. Kerajaan ini merupakan salah satu diantara kerajaan-kerajaan kecil di Aceh, yang pada mulanya masing-masing berdiri sendiri, tetapi kemudian berada di bawah kepemimpinan Sultan Aceh.

Nama kelompok Gayo Lut, dari kata "Lut" yang berarti "Laut" ada hubungannya dengan nama danau yang terdapat di daerah ini, yaitu Danau Laut Tawar. Orang Gayo menyebutnya Lut Tawar. Orang Gayo Luwes di Aceh Tenggara, kalau akan pergi ke Aceh Tengah mengatakan "mau ke Laut", yang dimaksudnya ke daerah sekitar Danau Laut Tawar tadi, sebaliknya orang Gayo Lut menyebut "mau ke Belakang", yang maksudnya Belangkejeren.

Penduduk Suku Gayo Lut

Kelompok ini merupakan kelompok yang terbesar jumlahnya dibandingkan dengan dua kelompok yang lain. Data sensus penduduk tahun 1930 menunjukkan jumlah orang Gayo di daerah ini adalah sebesar 24.665 jiwa.

Pada tahun 1971 daerah ini berpenduduk 108.752 jiwa, dan pada tahun yang lebih akhir tahun 1984 menjadi 177.195 jiwa. Namun diantara jumlah penduduk yang terakhir ini tidak diketahui lagi berapa jumlah orang Gayo. Penduduk daerah ini cukup banyak yang berasal dari etnis lain yang datang menetap sebagai petani, pegawai, pedagang, buruh, dan lain-lain. Orang Gayo juga cukup banyak yang mengalir keluar terutama generasi muda yang melanjutkan pendidikannya.

Pola Perkampungan Suku Gayo Lut

Pada masa lalu orang Gayo umumnya berdiam mengelompok dalam komunitas-komunitas kecil yang disebut kampung. Komunitas ini terdiri dari kumpulan rumah-rumah hunian yang merupakan rumah-rumah panggung berukuran panjang sekitar 20-30 meter dengan lebar 6-9 meter.

Rumah semacam ini dihuni oleh sejumlah keluarga inti atau keluarga luas yang masih ada hubungan kerabat. Bagian bawah tempat menyimpan kayu api, ternak dan alat pertanian dan barang lain. Bagian tengah adalah tempat hunian yang terbagi atas ruang untuk memasak, menerima tamu, kamar tidur, beranda umum dan tempat tidur khusus para remaja pria. Dalam rangka suatu upacara, misalnya upacara perkawinan, ada ruangan yang disebut "Serami banan" atau "serambi wanita". Ruangan ini khusus untuk tempat kaum wanita dalam upacara itu. Sebaliknya ada ruang yang khusus untuk pria saja yang disebut "Serami rawan" (serambi pria).

Serambi Pria ini sehari-hari disebut serambi yang berfungsi untuk sompal remaja laki-laki berkumpul dan tidur. Bagian atas yang berada di bawah atap dari rumah itu disebut "pura buang" yaitu tempat menyimpan barang-barang yang tak terpakai sehari-harinya, seperti periuk belanga. Sebuah kampung juga ditandai adanya tempat bersuah sehari-hari yang disebut "mersah" bagi kaum laki-laki dan "Joyah" bagi kaum wanita. Bangunan ini dilengkapi pula dengan kolam tempat mandi dan jamban untuk umum.

Kompleks sarana peribadatan ini merupakan milik dari satu klen. Di sanalah warga klen itu melaksanakan peribadatan mulai sembahyang lima kali sehari, tarwih di bulan puasa, belajar mengaji bagi anak-anak, memperingati hari besar Islam sampai kepada menyelengarakan akad nikah. Mersah juga merupakan tempat menginap bagi musafir yang tidak mempunyai famili di kampung itu. Dalam sebuah kampung semacam ini mungkin juga terdapat sebuah mesjid, yang merupakan tempat sembahyang Jum'at bagi warga beberapa kampung.

Disela-sela rumah tadi setiap keluarga mempunyai lumbung (keben atau beranang). Di sekitar sebuah kampung biasanya terdapat areal persawahan milik warga kampung yang bersangkutan. Sedangkan areal kebun atau ladang terdapat diluar batas areal persawahan tadi. Di kebun, ladang, atau disawah terdapat bangunan rumah yang lebih kecil, yang dihuni oleh satu keluarga pada musim-musim sibuk. Kini keadaan tadi sudah banyak berubah. Rumah-rumah panggung yang besar seperti di atas sudah sulit untuk didapatkan di Gayo Lut khususnya. Rumah panggung berganti dengan rumah yang merapat ketanah. Sejak lama, paling tidak sejak tahun 1945-an, setiap keluarga, cenderung membuat dan tinggal di rumah tunggal yang dihuni oleh keluarga inti atau keluarga luas sendiri.

Perubahan ini tampak serentak mereka lakukan, karena mereka ingin selalu seragam atau mungkin dapat dikatakan yang satu tidak mau ketinggalan dari yang lain. Kini banyak diantara mereka yang tinggal menyebar di ladang atau di kebunnya. Hal ini karena perubahan orientasi mata pencaharian dari pertanian sawah ke pertanian di kebun, terutama kebun kopi.

Sistem Budaya Suku Gayo Lut

Masyarakat Gayo, seperti juga masyarakat lain, memiiliki sistem budaya sebagai acuan dalam kelangsungan hidupnya sebagai satu kesatuan sosial. Sitem budaya masyarakat Gayo yang pernah diwujudkan dalam waktu yang lama bersumber dari apa yang mereka sebut "edet dan hukum".

Yang dimaksud edet adalah unsur-unsur pengetahuan, kepercayaan, nilai norma-norma warisan nenek moyang, yang disebut saja "adat lama", sedangkan hukum adalah keyakinan, nilai dan kaidah-kaidah yang berasal dari agama Islam. Rupa-rupanya unsur-unsur yang berasal dari kedua sumber ini menyatu dan lalu terpisahkan lagi, meskipun kadang-kadang masing-masing mempunyai fungsi khusus. Fungsi dan peranan khusus dari edet dan hukum pada masa lalu antara lain dapat diketahui dari peribahasa tertentu, seperti Edet mengenal hukum mubeza. Peribahasa ini mengisyaratkan bahwa "adat lama" secara konkrit mengatur tindakan-tindakan dalam suatu sistem sosial, sedangkan hukum Islam sebagai alat kontrol atau pengendali tindakan yang mungkin bertentangan dengan moral agama.
Bukti bahwa kedua sistem norma itu tidak terpisahkan dapat dikenali dari peribahasa "Taring edet jahil, agama taring agama jahil edet", yang artinya betapa sulitnya untuk tidak melaksanakan norma-norma agama dan norma adat lama itu. Akhirnya dari kedua sumber ini lahirlah apa yang disebut sistem budaya Gayo tadi, yang menata tindakan sosial dalam berbagai lapangan hidup mereka. Bagaimana sistem nilai budaya Gayo, sebagai bagian dari sistem budayanya, dapat diketahui misalnya dari satu hasil penelitian pada masyarakat Gayo Lut. 

Diantara nilai itu ada yang bisa disebut sebagai nilai "utama", yaitu yang disebut malu, atau mukemel yang artinya adalah "harga diri." Untuk mewujudkan "harga diri" itu seseorang harus mengenal dan mengamalkan sejumlah nilai lain, seperti nilai-nilai "tertib" (tertip), "Setis" (setie),"kasih-sayang"(gemasih), "musyawarah" (genap mupakat), "kerja-keras" (mutentu), "tolong-menolong" (alang-tulung), "amanah". Nilai-nilai ini sesuai dengan ajaran Islam. Nilai-nilai ini diperkenalkan dan ditransformasikan lewat peribahasa, ungkapan-ungkapan atau lewat pidato-pidato adat. Sebuah peribahasa menyatakan bahwa "orang yang tertib adalah orang yang mulia" (Tertip bermenjelis umet bermenlie).

Kita dapat melihat betapa tingginya arti tertib dalam pandangan mereka, karena "tertib" merupakan sebuah nilai. Sebuah ungkapan lain menunjukkan betapa tinggi nilai "kesetiaan" dan "kasih sayang" yaitu "Biar mati demi kesetiaan, biar papa demi kasih sayang" (Setie mete, gemasih papa). Mereka berpacu dan berkompetisi (bersikemelen) untuk mengamalkan nilai-nilai tadi mencapai atau mempertahankan "harga diri" itu sendiri sebagai nilai utama tadi. "Kompetisi" itu sendiri merupakan sebuah nilai yang menjadi motor pendorong dalam pengalaman nilai-nilai tadi. Nilai-nilai tadi menjiwai tindakan-tindakan mereka dalam kelompok-kelompok kerabat dan kelompok sosial yang lebih luas.

Dimasa lalu nilai-nilai menjadi acuan dalam rangka aktivitas sehubungan dengan mata pencaharian, hubungan muda-mudi, sistem kepemimpinan, kesenian, pendidikan dan lain-lain. Apakah nilai-nilai itu masih bertahan sampai masa-masa terakhir ini? Berikut ini sambil memberikan beberapa contoh sekaligus melihat perubahan atau pergeseran yang terjadi.

Kekerabatan Suku Gayo Lut

Salah satu dasar sistem kekerabatan masyarakat Gayo adalah menarik garis keturunan menurut prinsip patrilineal. Adat menetap sesudah nikah umumnya adalah virilokal, yang mereka sebut "juelen atau ango" artinya "sepasang pengantin menetap dilingkungan kerabat suami. Namun ada pula adat uxorilokal yang mereka sebut "angkap" artinya pasangan pengantin menetap di lingkungan kerabat istri.

Pada masa terakhir ini mereka sudah bebas memilih ke salah satu pihak atau berdiam di tempat lain (neolokal). Setiap individu diatur oleh ucapan sopan santun pergaulan apabila ia berada dalam kelompok, baik kelompok kecil seperti keluarga inti maupun dalam kelompok yang lebih besar seperti klen. Aturan itu bisa diwujudkan dalam penggunaan sistem istilah kekerabatan atau dalam wujud perilaku atau sikap ketika menghadapi seorang kerabat, acara penggunaan lambang-lambang status tertentu. Pengendalian dengan santun pergaulan ini terasa begitu kompleks, apabila diwujudkan antara anggota satu rumah besar tadi, setiap orang mempunyai status dan peranan beserta baik-baik dan kewajibannya.

Nilai-nilai tadi telah dibudayakan dalam satu proses sosialisasi. Seorang harus menunjukkan sikap sungkam kepada ayah (ama) yang sama juga terhadap saudara laki-laki ayah yang lebih muda (ama ecek). Dalam kelompok satu rumah ini ada pula status mertua laki-laki (owen) dan menantu perempuan (pemen) yang berada dalam tertib hubungan yang lebih sungkam lagi. Dua orang bersaudara kandung atau saudara sepupu yang berlainan jenis yang hidup dalam kelompok satu rumah itu juga harus mewujudkan sopan santun dengan menjaga jarak dalam arti bicara seperlunya dan saling menghormati.

Hubungan mereka disebut sebagai hubungan dengan sebaliknya, ada status yang bisa mengembangkan hubungan tak sungkam (joking relationship) misalnya cucu antara seseorang dan saudara perempuan ayah, antara cucu dan kakek serta neneknya. Dalam rumah besar itu terjadi saling kontrol antara satu keluarga dan keluarga lain. Setiap keluarga melihat apakah anak dari keluarga tertentu sudah mewujudkan sopan santun pergaulan yang baik. Apakah seorang gadis sudah terampil untuk membuat barang-barang anyaman, apakah juga sudah mempunyai koleksi yang cukup berupa barang anyaman dan barang gerabah yang kelak akan dipamerkan pada saat upacara perkawinannya.

Koleksi itu akan menjadi ukuran masyarakat apakah gadis ini seorang yang rajin. Koleksi itu juga didapatnya dari imbalan karena ia rajin menolong orang. Jadi koleksi itu merupakan gambaran dari gadis sebagai orang yang suka menolong, yang berarti ia tahu harga diri. Harga dirinya itu juga berarti mengangkat marwah orang tua. Pengenadlian nilai-nilai harus diwujudkan pula dalam hubungannya dengan di anggota klen lain atau dengan anggota kampung lain. Disini yang dipertahankan adalah harga diri atau nama baik klennya terbaik atau kampung. Pengendalian nilai antar klen itu diwujudkan cinta para remaja yang dalam mencari jodoh harus dari klen baik, karena adat eksogami klen. Hubungan berpacaran antara muda-mudi yang berbeda klen ini harus dilakukan dengan tertib dan displin yang telah ditemakan oleh adat.

Seorang perjaka sangat tahu bagaimana ia berperilaku untuk menjaga nama keluarga dan klennya ketika meladeni masa berpacaran itu. Semua remaja yang berpacaran haruslah melakukannya pada tengah malam (murojok) waktu orang-orang sudah tidur tetapi kalau siang hari harus dilakukan ditengah hutan (bebmu). Apakah siang atau malam pertunangan itu tidak boleh dilakukan oleh sepasang remaja, tetapi harus beberapa pasang agar terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan. Demikian antara lain aturannya dan remaja yang mengikuti aturan itu adalah remaja yang tertib atau remaja yang pandai menjaga harga dirnya dan kelompoknya. Harga diri kelompok itu dijaga dan diangkat, bisa juga lewat kesenian yang dipertandingkan antar klen atau antar kampung. Pagelaran kesenian itu merupakan salah satu sarana untuk mewujudkan kompetisi.

Mata Pencaharian Suku Gayo Lut

Dimasa lalu masyarakat Gayo Lut hidup sebagai petani, terutama bercocok tanam di sawah. Sawah yang luas adalah simbol gengsi. Dalam hal pertanian sawah mereka menjalankan macam-macam tradisi, mulai dari menabur benih, mengolah tanah, sampai kepada memulai makan hasil panen yang baru. Tradisi ini menyangkut aktivitas tolong-menolong yang terkait dengan perkawinan seseorang, terkait dengan kepercayaan. Dalam aktivitas pertanian ini tersirat berbagai nilai budaya sebagai acuan, misalnya mengukur apakah seseorang punya rasa saling menolong, displin dalam mengikuti aturan kegiatan pertanian, mengukur apakah seseorang bersikap kerja keras, dan lain-lain.

Jenis mata pencaharian lain di masa lalu adalah berternak kerbau dan menangkap ikan di Danau Laut Tawar, terutama bagi masyarakat di sekitar danau tersebut. Banyaknya jumlah ternak yang dimiliki juga menjadi simbol gengsi. Pada periode lain orang Gayo kebanyakan lebih mengutamakan penanaman kopi dikebun-kebun. Hutan-hutan yang memungkinkan untuk ditanami kopi mereka kerjakan dan babat. Kebun kopi menjadi salah satu sumber gengsi meskipun hidup mereka jatuh bangun sesuai dengan jatuh bangunnya harga kopi karena tata niaga kopi itu dikendalikan oleh orang lain. Dalam periode ini sawah menjadi kurang penting dalam pandangan mereka, karena dilihat dari perhitungan ekonomi penghasilan dari sawah tidak mampu memnuhi macam-macam kebutuhan yang semakin berkembang dan bervariasi. Namun dalam jenis mata pencaharian ini sudah tidak banyak lagi aturan adat atau upacara yang menyangkut nilai-nilai tadi, orientasinya sudah lebih banyak kepada perhitungan materi dan berangsur-angsur meninggalkan nilai-nilai tersebut di atas.

Sistem Kepemimpinan Suku Gayo Lut

Masyarakat Gayo Lut pernah mengenal sistem kepemimpinan tradisional yang disebut "marak-opat". Sistem kepemimpinan ini berlaku di dalam klen atau belah. Sistem kepemimpinan ini dijalankan oleh empat (epat) unsur, yaitu reje, petue, imem dan sawudere. Setiap unsur ini mempunyai sifat kekeramatan tersendiri.

Reje biasa dikenal pula dengan sebut pengalu. Reje ini diyakini mempunyai sifat adil, suci (cuce) benar, kasih, bijaksana dan bertuah (mutuah). Keseluruhan sifat ini disebut dalam satu ungkapan "musuket-sipel" yaitu sebagai sifat kekeramatan dari seseorang reje tadi. Para ahli mengemukakan bahwa sifat semacam itu memang merupakan sifat yang disyaratkan secara universal kepada seorang pemimpin di mana pun dan pada jaman apa pun. Namun, sifat bertuah pada reje merupakan komponen kaerismatik yang dimiliknya karena "kesepakatan" (genap-mopokat) rakyat (sawudere) yang menjatuhkan pilihan padanya. Petue adalah unsur pimpinan yang memiliki sifat teliti, peka, tepat tanggap dan dapat segera mengambil satu keputusan yang tepat. Semua sifat dan ciri itu disebut musdik sasat, sebagai sifat kekeramatan seorang petue.

Unsur pimpinan ketiga adalah Imem yang sifat dan perilakunya harus mewujudkan "amar makrul nahi mungkar" yang terkait dengan nilai-nilai dan kaidah-kaidah agama Islam. Sifat semacam itu disebut "mupeilu sunet", sebagai sifat kekeramatan dari imem. Unsur keempat, Sawudere adalah merupakan keseluruhan anggota dari satu klen itu, yang biasa juga disebut anak-buah atau rayat. Sifat kekeramatan rayat ini terletak pada perilakunya yang selalu bersifat musyawarah yang disebut "genap mupakat".

Meskipun tiap unsur pimpinan itu, mempunyai kewibawaan, wewenang dan kekuasaan yang berpedoman pada kekeramatannya tadi, namun hasil musyawarah "sawudere" atau rayat adalah merupakan keputusan tertinggi. Sebagai manusia, unsur pimpinan tersebut tidak luput dari kelemahan kealpaan. Seorang reje mungkin saja berlaku tidak adil, tidak bijaksana atau tidak mempunyai rasa kasih sayang kepada rakyatnya, dan sebagainya. Bila ini terjadi, maka sifat keramahannya dianggap telah hilang. Rakyat lewat musyawarahnya akan menyatakan reje telah taksir, karena itu rakyat menjatuhkan hukuman yang disebut "pepakiren". Akibatnya reje turun dari kedudukannya dan ia pun dipandang lebih rendah dari rakyat biasa, ia telah menjadi fakir (pakir).

Petue yang menyimpang dari sifat kekeramatannya, melalui musyawarah rakyat akan dinyatakan "tingel". Karena itu ia pun harus turun dan status itu. Demikian pula imem yang tidak berperilaku menurut garis kekeramatannya akan dicopot oleh musyawarah rakyat. Ia pun dinyatakan telah menjadi laman. Penurunan jabatan pimpinan itu dilakukan secara demokrasi lewat suatu upacara yang disaksikan oleh para pemimpin (sarak opat) dari klen-klen lain. Pernyataan itu dinyatakan oleh seorang wakil rakyat yang disebut "Ulu Dawa". Pemimpin yang diturunkan oleh musyawarah rakyat itu tidak lagi berhak untuk membela diri, karena keputusan itu merupakan keputusan yang tertinggi. Sebaliknya anggota masyarakat sendiri sebagai pribadi tentu ada yang berlaku salah. Kesalahan itu akan diganjar dengan sanksi misalnya dengan denda (dene), dikecualikan (parak) sampai kepada sanksi yang lebih berat lagi, sesuai dengan kesalahannya.

Seseorang yang telah dijatuhi hukuman itu menjadi orang yang kehilangan harga diri. Kehadiran kekuasaan Jepang di Indonesia, termasuk di daerah Gayo Lut, meskipun dalam masa yang relatif singkat, telah menggoyahkan struktur sosial masyarakat Gayo. Kemudian arus perubahan lain datang silih berganti yang semua membawa perubahan-perubahan. Perubahan itu juga mengenai sistem kepemimpinan sarak-opak. Namun pada tahun 1968, setelah sekitar 25 tahun dan kehadiran Jepang tadi, orang mulai teringat tentang sarak-opat yang dianggap bermanfaat untuk diterapkan kembali. Pranata kepemimpinan yang diaktifkan kembali ini sedikit dimodifikasi dalam hal nama dan peranan unsur-unsurnya.

Akan tetapi penerapan nilai-nilai dan norma-norma lama sebagai acuan rupanya tidak semudah yang dibayangkan. Kemudian sarak opat itu hanya menjadi sebuah selongsong yang isinya sudah berubah dan jiwa musyawarah mufakat (genap-mupakat) tidak muncul dari rakyatnya.

Kesenian Suku Gayo Lut

Orang Gayo Lut mengenal beberapa jenis kesenian, seperti seni sastra, seni suara, seni tari, seni rupa, seni instrumental, dan ada kesenian didong yang merupakan paduan suara antara seni sastra, seni suara, dan seni tari. Kesenian didong akan dibahas lebih rinci. Seni lain bernama sa'er, yang merupakan paduan seni suara dan sastra yang bernapas keagamaan. Seni sastra lainnya adalah melengkan, seni pidato adat yang berbalas-balasan.

Ada pula seni sastra yang dibawakan dengan cara meratap pada waktu menghadapi kematian dan dalam rangka upacara perkawinan, yang disebut "sebuku". Seni tari tradisional yang tidak lepas dari seni suara adalah guru didong, yang dibawakan oleh dua orang penari sambil bernyanyi bersahut-sahutan. Semua bentuk kesenian yang mengandung seni sastra tampaknya mengandung unsur kompetisi. Seni tari tradisional lain ialah tari quel yang terkait dengan legenda gajah putih yang dikenal di Aceh. Dalam seni rupa, mereka mengenal ukiran pada barang-barang tembikar, anyaman tikar, dan kain tradisional berupa kain adat (seperti upah ulen-ulen). Alat-alat musik tradisional yang dikenal adalah teganing, yaitu alat musik pukul pada senar kulit bambu yang dicungkil, suling, bensi (bangsi), serune, canang, gendang (gegedem), gong, genggong dan lain-lain.

Perlu dicatat, bahwa daerah ini telah mempunyai sekolah kesenian pada tahun 1942, tetapi kemudian tutup pada tahun 1947. Lembaga pendidikan kesenian itu bernama PPM (Perguruan Perusahaan Murid-murid). Lembaga yang mendapat inspirasi dari lembaga pendidkan serupa di Kayu Tanam, Sumatera Barat, mendapat perhatian yang besar dari para pemuda waktu itu. Jenis-jenis kesenian yang diajarkan waktu itu adalah seni musik, seni tari, seni lukis, seni drama, seni anyam. Lembaga pendidikan ini menjadi akar pertumbuhan kesenian pada masa-masa berikutnya. Seperti disebut di atas, kesenian didong akan diuraikan lebih rinci, karena kesenian ini seolah menjadi induk beberapa cabang seni dan mempunyai kaitan dengan struktur sosial dan menjadi jiwa dari dinamika sosial masyarakat setempat.

Kesenian ini dimainkan dalam kelompok yang terdiri dari 25-35 orang yang pada umumnya diperankan oleh kaum pria. Kesenian ini merupakan seni bersyair yang dinyanyikan serta diiringi dengan gerak-gerak tertentu yang serasi dengan isi syair dan irama lagunya. Kesenian ini merupakan kesenian yang dipertandingkan antara dua kelompok secara bergiliran dan berlangsung malam hari semalam suntuk. Kelompok itu yang disebut kelop atau ulu, dulu mewakili satu klen, tapi sekarang mungkin mewakili satu kampung atau satu kawasan tertentu. Setiap kelompok mempunyai nama-nama tersendiri, yang menggunakan bahasa atau istilah Gayo atau Indonesia, contoh: Biak Cacak, Ceding Ayu, Sinar pagi, Dewantara, Laki-laki dan lain-lain. Sampai tahun 1980 pernah dicatat sekitar 89 buah perkumpulan kesenian didong di daerah Gayo Lut itu.

Dalam setiap perkumpulan tadi ada beberapa orang yang disebut ceh yang lainnya adalah pengiring (pedawang). Seorang yang disebut ceh adalah senantiasa Koinplit artinya adalah seorang penyair atau orang yang mampu menciptakan puisi-puisi sendiri, mampu menciptakan lagu sendiri dan memiliki suara yang merdu. Dalam satu kompetisi para Cehnya itu biasanya terbagi atas dua atau tiga kategori sesuai dengan kemampuan yang dimiliki dalam menciptakan keindahan suara tadi, yaitu ceh kul (seniman utama) ceh due (ceh dua) dan seterusnya.

Pada masa lalu, kesenian ini berfungsi sebagai hiburan dan sarana mengungkap masalah-masalah adat, misalnya adat perkawinan, adat mendirikan rumah, pertanian dan lain-lain. Dengan demikian pengetahuan tentang adat itu akan terus hidup sebagai pengetahuan masyarakatnya. Pada masa ini, pagelaran pertandingan kesenian ini adalah antar klen yang juga berfungsi untuk mempertahankan struktur sosial dalam wadah berupa klen itu. Pada masa yang lebih terakhir, kesenian ini berkembang dan berubah, baik dalam kekayaan variasi lagu, bentuk dan tata bunyi lirik dan fungsi dari kesenian ini yang semakin kompleks. Fungsinya adalah untuk penerangan, pendidikan, kritik sosial, di samping sebagai hiburan. Isinya bukan lagi soal-soal yang menyangkut adat lama saja, tetapi telah mengkaji masalah sejarah bangsa.

Panca Sila, pelestarian alam, pembangunan pada umumnya, kemajuan teknologi di dunia luar dan lain-lain. Fungsi mempertahankan stuktur sosial juga masih terasa dalam pagelaran kesenian akhir-akhir ini. Kesenian ini menuntut kreativitas yang tinggi dari seorang ceh. Setiap senimannya harus mampu menciptakan puisi-puisi yang bermutu tinggi, artinya puisi mempunyai bunyi yang indah, isi yang dalam, halu, tapi juga tajam. Keseluruhan puisi itu seharusnya menunjukkan ciri karya seniman itu sendiri. Puisi itu bisa berisi kritik kepada lawan tanding, masyarakat, atau pemimpin, bisa mengandung makna buat pendidikan, penerangan bagi penontonnya. Setiap kali seorang seniman dituntut mengembangkan puisi-puisi yang baru, dan tidak jarang seorang seniman ini dituntut menciptakan puisi spontan di tengah arena itu guna menangkis serangan lawan tanding.

Kemampuan menciptakan puisi secara spotan dalam waktu yang singkat dengan isi yang mengena, tajam dan halus tidak dimiliki oleh sembarang orang, kecuali oleh seorang ceh kul seperti tersebut diatas. Berikut ini diberikan contoh beberapa bait puisi dengan tata bunyi yang menarik dari seorang ceh kumpulan Kabinet Mude, Kampung Bebesen.
Nama pelolan si kite bungker
Emi inali kin keber gantoi payung
Kau kite angon didong si bener
Nume perang ia si kite bungker
Mudah-mudahan menjadi ihtiber

Ini kuseder ni kurik kampung
Nge kin buah tutur kurik pedatas
Mengeker dapur mubenasan alas
Nge ketar ketur pingen urum gelas
Udah rus awas-aws ko salah pengkalang
Sentan mujemur gule keperas
Gere tetuho tabur nalam ne lepas
Supu ni jamur meh merulas
Utangmu ranas urum lopah puntong
Bait-bait puisi semacam ini ditembangkan lagu-lagu yang serasi dengan rangkuman kata dan makna yang tersirat. Menurut yang berlaku lagu itu ciptaan sendiri, dan harus berwarna Gayo. Ini berarti norma dalam kesenian didong menghendaki lagu yang berakar dari bumi Gayo, tidak mengambil alih nama daerah atau bangsa lain, misalnya yang biasa dikenal.

Setiap ceh harus menciptakan puluhan, bahkan mungkin ratusan, lagu sendiri yang tentunya sulit untuk menghindari pengaruh dari pihak lain. Namun mereka sadar bahwa melahirkan karya sendiri yang indah dan bermutu adalah bagian dari upaya meningkatkan harkat sebagai seniman dan harga diri kelompoknya. Ini adalah prinsip dasar dalam berkarya dalam kesenian didong kesenian didong penuh dengan kompetisi dalam ukuran mutu itu. Kompetisi itu dikontrol secara formal oleh juri dalam pertandingan, tetapi lebih dari pada itu kontrol dari masyarakatnya. Seniman yang tidak berpegang pada prinsip itu biasanya tidak akan lama bertahan dan tidak akan pernah besar.

Sejumlah seniman didong telah tampil melengkapi khasanah dunia sastra di Indonesia misalnya Saliu Gobal dengan buku-buku kumpulan puisinya antara lain "Manuk" bersi 34 buah puisi yang terlah diterbitkan oleh Proyek Buku Sastra Indonesia dan Daerah. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Sali Gobal banyak bicara tentang alam, pelestarian alam di samping kriktik sosial. Tokoh lain adalah To'et alias Abdul Kadir yang telah memberi setitik warna pada dunia baca, puisi di Indonesia.

Diantara puisinya yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dimana dalam majalah Horison (1983-1985) dan media lainnya. Mereka ini adalah dua dari ratusan penyair Gayo yang belum sempat dikenal. Gambaran umum tentang kesenian dapat dibaca dalam karya M.J Melalatoa, Didong Kesenian Tradisional Gayo (Direktorat Jenderal Kebudayaan tahun 1982).

Sumber : Ensiklopedi Suku Bangsa Di Indonesia oleh M. Junus Melalatoa
 

0 Response to "Sejarah Dan Kebudayaan Suku Gayo Lut"

Posting Komentar