Sejarah Suku Lara

Suku Dunia ~ Lara salah satu kelompok orang Dayak yang berdiam di Provinsi Kalimantan Barat, khususnya di Pontianak dan Kabupaten Sambas. Di Kabupaten Sambas mereka paling tidak berdiam dalam lima kecamatan, yaitu kecamatan Bengkayang, Ledo, Sanggau, sejangkung, dan Seluas. Pada tahun 1974 orang Lara yang berdiam di Pontianak berjumlah 7.123 jiwa dan di Kabupaten Sambas berjumlah 33.665 jiwa. Sumber tertentu menyebutkan bahwa orang Lara ini merupakan sub kelompok dari Dayak Kendayan.
Ilustrasi Suku Dayak Lara
Gambaran umum tentang orang Dayak Lara ini kiranya dapat dikenali dari suatu hasil penelitian Tim Survey Direktorat Pembinaan masyarakat Terasing, Suku Dayak Manyuke & Lara di Kecamatan Bengkayang, Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat (1975). Kecamatan Bengkawang terletak di sebelah timur kota Singkawang. Jarak antara Singkawang Bengkayang, ibu kota Kecamatan, sekitar tiga jam dengan kendaraan bermotor melalui jalan raya yang sudah beraspal baik. Ibu kota kecamatan ini sudah dilengkapi sarana ekonomi berupa pasar yang tersedia berbagai bahan kebutuhan pokok sehari-hari. Pasar ini sebagian besar diisi oleh pedagang keturunan Cina. Sebaliknya prasarana jalan ke desa-desa atau kampung-kampung terpencil harus ditempuh melalui jalan setapak.

Dalam kecamatan Bengkayang itu, orang Lara terbagi atas beberapa kelompok yang berlatar belakang pengelompokan adat, yang disebut benua. Setiap benua dipimpin oleh seorang kepala adat. Pengelompokan dengan latar belakang adat di kecamatan ini adalah Benua Seburuk, Benua Sebetung, Benua Sebetung Menyala, Benua Teriak, dan Benua Palayo. Setiap benua itu masih terbagi atas beberapa kampung atau kepala desa yang diangkat secara formal yang berkedudukan di bawah Camat. Kampung yang sudah resmi tercatat di kantor Kecamatan sebanyak 15 buah, namun secara dengan keseluruhan ada sekitar 30 kampung. Jumlah penduduk kampung atau anak kampung ini bervariasi antara 70-an jiwa sampai mendekati 600 jiwa. Dalam kehidupan sehari-hari kepala Benua lebih berpengaruh dibandingkan dengan kepala kampung. Lebih-lebih dalam hal-hal yang menyangkut dengan adat kepala kampung tidak mempunyai kekuasaan. Bagi Camat kedua pemimpin sama-sama diakui sesuai dengan peranannya masing-masing.

Mata Pencaharian Suku Lara

Di tengah lingkungan alam yang umumnya ditutupi oleh hutan, mereka bermata pencaharian dengan bercocok tanam di ladang, ternak, kebun, menangkap ikan, dan mencari hasil hutan. Perladangan merupakan ladang berpindah yang umumnya untuk satu kali musim tanam. Satu keluarga umumnya mengerjakan satu hektar dengan padi sebagai tanaman pokok. Selain padi mereka juga menanam singkong, jagung, pisang, kacang tanah, ubi rambat. Singkong itu dipanen ketika mereka perlukan untuk makanan tambahan, sedang yang lain digunakan untuk makanan babi.

Ternak yang umum dipelihara adalah babi, karena pemeliharaannya mudah, jarang kena penyakit dan harganya mahal. Anjing mereka kembangbiakkan adalah untuk kepentingan upacara adat. Anjing disembelih dalam rangka upacara menanam padi, upacara penguburan, dan lain-lain. Hampir setiap keluarga memelihara ayam dan sebagian anggota masyarakat juga memelihara itik.

Sejak lama masyarakat ini telah mengenal tanaman karet. Sebagian besar keluarga masyarakat ini memiliki kebun karet dengan 300 - 500 pohon. Namun gairah mereka mengusahakan kebun karet sering merosot karena harga yang tidak stabil. Banyak kebun yang terbengkalai atau ditebangi untuk dijadikan ladang padi, karena biaya menyadap, pangasapan dan pengangkutan yang mahal. Tanaman kebun yang lain ialah lada dan nanas. Meskipun harga lada cukup tinggi, namun mereka belum memiliki kemampuan teknis dan biaya untuk pengusahaan tanaman lada ini. Mata pencaharian sambilan adalah berburu dan mencari hasil hutan. Binatang buruan adalah kijang, rusa, dan babi hutan. Hasil hutan yang diramu adalah tengkawang, rotan, dan lain-lain.

Rumah kediaman orang Lara ada yang berupa rumah panggung dan ada yang merapat ke tanah. Ukuran rumahnya tidak seragam, misalnya 6 x 8 meter atau 6 x 12 meter. Bahan tiang ada yang persegi dan ada yang bulat yang dengan mudah diperoleh dari lingkungan sekitar. Sebagian rumah berdinding papan dan sebagian lain dari kulit kayu dengan atap umumnya rumbia. Rumah itu berpintu dua buah yang ada di bagian depan dan bagian belakang, namun tanpa jendela sehingga ruang dalam rumah itu tampak gelap. Sebagian rumah tanpa kamar dan sebagian lainnya punya kamar. Tempat tidur dibuatkan balai-balai dengan alas tikar dari daun pandan.

Perabot rumah tangga tampak, sebagian dari mereka telah memiliki kursi, meja dan lemari. Alat-alat rumah tangga yang mereka miliki berupa periuk, belanga, panci, piring, gelas, ketel dan lain-lain yang mereka beli dari pasar. Wadah-wadah tertentu mereka buat sendiri, misalnya wadah anyaman bambu untuk mengangkut padi yang disebut asung. Wadah anyaman bambu yang lebih besar digunakan untuk menyimpan padi dalam rumah disebut olo. Alat untuk mengangkut kayu terbuat dari rotan dengan cara menggendong disebut rancang. Sekarang mereka telah memakai pakaian seperti yang umum dipakai di tempat lain, mereka sudah lama meninggalkan pakaian seperti cawat. Para wanita Lara gemar akan perhiasan yang terbuat dari emas dan batu-batuan. Perhiasan yang dipakai adalah anting, cincin, gelang, dan kalung. Sebagian dari mereka juga memasang gigi emas.

Agama dan Kepercayaan Suku Lara

Mereka telah menganut agama seperti agama Katolik. Namun, mereka masih percaya terhadap kekuatan gaib yang ada pada benda-benda tertentu atau yang menghuni tempat tertentu. Roh-roh orang yang telah meninggal dipercayai masih ada di sekitar kediaman mereka, yang kadang-kadang akan datang mengganggu. Oleh sebab itu sewaktu-waktu mereka menyediakan sajian yang diletakkan di sekitar batu besar, kayu besar, sungai, atau persimpangan jalan.

Mereka juga banyak melakukan upacara, misalnya upacara begawi. Upacara ini merupakan upacara syukuran setelah panen. Dalam upacara ini mereka mempersembahkan sajian antara lain berupa darah anjing yang ditaburkan di tempat tertentu. Selain itu dipersembahkan ayam dan babi beserta darahnya, nasi pulut (lemang), kue-kue yang terbuat dari beras. Upacara itu disertai pula tepung tawar berupa air bunga, sobekan kain warna-warni, dan pembakaran kemenyan. Upacara ini dimaksudkan agar mereka mendapat hasil yang cukup pada panen berikutnya, warga kampung itu mendapat perlindungan dari gangguan setan dan penyakit. Upacara ini dilaksanakan oleh warga satu kampung dan dipimpin oleh kepala adat.

Sumber : Ensiklopedi Suku Bangsa Di Indonesia oleh M. Junus Melalatoa

0 Response to "Sejarah Suku Lara"

Posting Komentar