Suku Dunia ~ Lintang adalah satu kelompok sosial yang berdiam di sekitar Sungai Lintang, yaitu Sungai Lintang Kiri dan Sungai Lintang Kanan, di Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan. Nama daerah Lintang diberikan karena Sungai Lintang terletak melintang di alur Sungai Musi. Penduduk setempat menyebut diri mereka jemo Lintang, yang artinya "orang Lintang". Menurut cerita rakyat, nenek moyang orang Lintang yang pertama kali membangun dusun di daerah tersebut berasa dari luar dan masuk ke daerah tersebut melalui Sungai Musi.
Daerah kediaman mereka disebut wilayah Lintang Empat Lawang, yang meliputi empat kecamatan, yaitu Kecamatan Ulu Musi dengan ibu kotanya Padang Tepong, Kecamatan Pendopo dengan ibu kotanya Pendopo, Kecamatan Muara Inang dengan ibu kotanya Muara Pinang, dan Kecamatan Tebing Tinggi dengan ibu kotanya Tebing Tinggi. Nama Lintang Empat Lawang muncul dengan adanya keyakinan masyarakat bahwa mereka diturunkan oleh nenek moyang yang berasal dari empat lawangan (pahlawan) dari dusun yang berbeda-beda, yaitu (1) lawangan dari dusun Batu Pance; (2) lawangan dari dusun Tanjung Raya; (3) lawangan dari dusun Muara Tandi yang sekarang disebut Muara Danau; (4) lawangan dari dusun Lubuk Puding.
Orang Lintang menggunakan bahasa Lintang (baso Lintang), yang terdiri atas dua dialek, yaitu dialek o dan dialek e. Dialek o digunakan di Kecamatan Ulu Musi, Pendopo, dan Muara Pinang. Dialek e digunakan di Kecamatan Tebing Tinggi, dan beberapa dusun di Kecamatan Ulu Musi. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Tim Proyek Penelitian Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah Sumatra Selatan pada tahun 1986, jumlah penutur bahasa Lintang di wilayah ini diperkirakan sekitar 181.206 jiwa. Secara khusus, jumlah penutur bahasa Lintang dialek o diperkirakan berjumlah 125.785 jiwa. Di daerah ini orang Lintang hidup berbaur dengan masyarakat suku bangsa lain, misalnya dengan suku bangsa Jawa di daerah Pasemah Air Keruh di Kecamatan Ulu Musi, suku bangsa Minangkabau di Kecamatan Pendopo, atau suku bangsa Melayu Palembang di Kecamatan Muaro Pinang.
Perkembangan atau dusun orang Lintang umumnya dirikan mengelompok di tepi sungai. Sejak masuknya pemerintah Belanda, dusun-dusun orang Lintang mulai pindah ke tepi-tepi jalan raya. Mata pencaharian pokoknya adalah bertani, terutama menanam padu di sawah. Tanaman pokok lainnya adalah kopi yang tumbuh subur di daerah tersebut. Hasil kopi dari daerah ini sejak jaman Belanda sudah menjadi salah satu komoditi ekspor. Dalam berkebun kopi biasanya orang Lintang melakukannya dengan cara membuka areal hutan yang terdapat di sekitar mereka. Mata pencaharian lainnya adalah berkebun kelapa dan buah-buahan, beternak dan berdagang. Mereka juga menangkap ikan di sekitar sungai-sungai yang terdapat di lingkungan tempat tinggal mereka.
Masyarakat Lintang terbagi atas kelompok-kelompok marga. Di daerah Lintang Empat Lawang terdapat sekitar 13 marga dan 120 dusun. Pemimpin sebuah marga disebut Pasirah atau Depati, yang kedudukannya dalam struktur pemerintah sekarang berada di bawah camat. Pada masa lalu seorang pasirah sering kali diberi gelar tertentu, misalnya gelar Pangeran. Sebagai pemimpin adat, seorang pasirah bertanggung jawab memimpin dan melindungi warga marganya. Dalam melaksanakan tugasnya seorang Pasirah dibantu oleh para Pamong Marga, yang terdiri atas: juru tulis marga yang bertugas dalam hal administrasi, gindo atau pembarap, yaitu kepala dusun, penggawo yaitu pembantu kepala dusun dalam melaksanakan tugas sehari-hari, penghulu atau khatib yang bertugas dalam hal keagamaan.
Secara keseluruhan sistem kehidupan orang Lintang berorientasi pada suatu tatanan hukum adat yang sudah berlaku di daerah pedalaman Sumatera Selatan sejak zaman Kesultanan Palembang, yang tercakup dalam kitab Undang-Undang Simbur Cahaya. Walaupun sejak jaman kemerdekaan undang-undang ini dinyatakan tidak berlaku lagi, masyarakat masih mempertahankan norma-norma yang terkandung di dalamnya, termasuk sanksi-sanksi untuk perbuatan yang melanggar adat. Di kalangan masyarakat berkembang suatu sistem tolong-menolong yang diterapkan pada berbagai kegiatan dalam kehidupan sehari-hari. Sistem gotong-royong, misalnya, dilaksanakan dalam peristiwa kematian (petolong), menanam padi (ngersayo-betanam padi), mendirikan rumah (ngersayongakkan uma), dan sebagainya.
Perkawinan merupakan salah satu peristiwa yang dianggap penting dalam masyarakat Lintang. Menurut anggapan mereka, seseorang dapat dikatakan berhasil dalam hidup bila semua anaknya telah membentuk rumah tangga sendiri-sendiri yang terpisah dari rumah orang tuanya. Suatu perkawinan diawali dengan peminangan calon mempelai wanita oleh keluarga laki-laki, yang diiringi dengan proses tawar-menawar besarnya biaya perkawinan yang harus diberikan oleh pihak laki-laki.
Pada saat itu pula ditentukan tempat tinggal kedua mempelai sesudah menikah. Ada lima kemungkinan tempat tinggal sesudah nikah yang umum berlaku pada masyarakat Lintang, yaitu (1) rasan bejujur, artinya mempelai wanita bertempat tinggal dan ikut kelompok suaminya (patrilokal); (2) rasan tambik anak teguh, artinya mempelai laki-laki bertempat tinggal dan ikut kelompok istrinya (matrilokal); (3) rasan tambik anak tungguan duo, artinya pasangan pengantin baru bebas memilih apakah si suami ikut ke kelompok istrinya atau sebaliknya, istri ikut kelompok suaminya (utrolokal); (4) rasan tambik anak ngantat, artinya untuk jangka waktu tertentu suami bertempat tinggal di kelompok istrinya (matrilokal), baru kemudian pindah ke kediaman yang sama sekali baru (neolokal); (5) rasan tambik anak belapik duit, hampir sama dengan no (4), yaitu mula-mula di kediaman kelompok istri, baru kemudian bebas memilih tempat tinggal yang baru. Kini umumnya orang Lintang yang baru menikah memilih untuk menetap di kediaman yang sama sekali baru (neolokal).
Gabungan keluarga batih membentuk suatu keluarga luas utrolokal yang disebut peranakan. Kelompok-kelompok peranakan membentuk kelompok yang lebih besar, yang disebut rugoek-kampoeh. Kelompok rugoek-kampoeh biasanya saling berhubungan dalam berbagai kegiatan, misalnya dalam upacara perkawinan, kegiatan di sawah dan sebagainya.
Orang Lintang umumnya adalah pemeluk agama Islam. Yang berperan dalam urusan keagamaan ini adalah seorang penghulu yang bertanggung jawab pada tingkat marga dan seorang khatib yang bertanggung jawab pada tingkat dusun. Pengaruh agama Islam juga terlihat dalam bentuk-bentuk kesenian orang Lintang, diantaranya kesenian rebana, jidor, dan berbagai tari-tarian. Bentuk kesenian lainnya yang masih berkembang dengan baik adalah tradisi sastra lisan, seperti pantun, jampi, memoneng, rejung, andai-andai, karnasian, dan sebagainya.
Sumber : Ensiklopedi Suku Bangsa Di Indonesia oleh M. Junus Melalatoa
0 Response to "Sejarah Suku Lintang"
Posting Komentar