Suku Dunia ~ Santiago merupakan tradisi berziarah ke makam para Sultan-Sultan Buton yang ada di dalam Benteng Keraton dan sekitarnya. Di era Kesultanan Buton dilaksanakan pada tanggal 2 Syawal setelah Sholat Isya hingga menjelang Sholat Subuh yang turut dimeriahkan oleh pejabat kesultanan dan masyarakat. Karena begitu ramai dan meriahnya kegiatan yang berlangsung di hari ke-2 lebaran Idul Fitri ini, maka sering disebut dengan raraea malo, yang berarti berlebaran di malam hari. Di era pendudukan Jepang karena keadaan yang tidak memungkinkan, maka pemerintah Kesultanan Buton mengadakan Santiago di pagi hari tanggal 2 Syawal hingga sore menjelang malam.
Iring-iringan Santiago terdiri dari pasukan inti kesultanan Buton yang disebut dengan kompanyia sejumlah 11 regu yang dilengkapi dengan tambur (tamburu) dan bendera (tombi). Selain kompanyia, santiago dilengkapi dengan Salawatu, pau karatasi (payung kertas kesultanan), para Bonto yinunca (menteri-menteri yang bertugas di istana), para prajurit dan para pejabat kesultanan Buton lainnya. Pada prosesi Santiago ini ikut serta 2 (dua) orang moji (aparat Masjid Agung Keraton) untuk memimpin doa.
Salawatu yang merupakan seorang perempuan muda yang mengenakan pakaian kombo memegang kabubusi (air yang diberi wewangian berupa jeruk purut dan kembang kamboja) yang digunakan untuk menyiram makam Sultan. Salawatu ini dipayungi oleh kenipau (pemegang payung kesultanan) sebagai bentuk penghormatan akan jasa-jasa para Sultan yang pernah memimpin Buton. Setelah moji membaca doa maka akan dilakukan penyiraman makam Sultan.
Iring-iringan kompanyia akan memainkan tari galangi di depan kamali (istana Sultan), Masigi Ogena (Masjid Agung Keraton Buton), Baruga dan setiap makam Sultan sebagai bentuk penghormatan terhadap para Sultan yang telah mangkat.
Profil Lingkungan Tanailandu Dan Kamali Kara
Lingkungan Tanailandu merupakan area didirikannya Kamali Bata (Kamali Masae) yang merupakan Istana Sultan Muhammad Umar Qaimuddin (bertahta tahun 1885 - 1904), di tempat ini pula Kamali Kara didirkan, yang merupakan Istana Sultan Muhammad Hamidi Qaimuddin (Memerintah 1928 - 1937). Kamali Kara saat ini merupakan tempat pembuatan kabubusi (air persiraman makam Sultan-Sultan) pada kegiatan adat Santiago. Di lingkungan ini juga dimakamkan Sultan Dayanu Iksanuddin, Sultan Adilil Rahim, Sultan Syamsuddin, Sultan Mulharuddin Abd. Rasyid dan Sultan Malik Sirullah.
Lingkungan Tanailandu merupakan salah satu pusat pelaksanaan kegiatan-kegiatan adat di Kesultanan Buton. Seperti halnya tempat berkumpulnya pasukan inti Kesultanan Buton (Kompanyia), tempat start iring-iringan Santiago, tempat susuliana badili (membunyikan meriam sebagai tanda datangnya 1 Ramadhan dan 1 Syawal) dan tempat pareeana tamburu (membunyikan tambur) setiap sore hari di bulan Ramadhan sebagai pertanda buka puasa. Di tempat ini pula pernah didirkan Zawiah (lembaga pembelajaran agama Islam) dan Galampa Tanah (Ruang Sidang Syara Kesultanan Buton).
Berikut profil para Sultan yang akan diziarahi pada upacara adat Santiago:
Sultan Murhum
Sultan Murhum merupakan Raja Buton VI dan Sultan Buton I dengan gelar Sultan Qaimuddin Khalifatul Khamis. Beliau memerintah selama 20 tahun sebagai Raja dan 26 tahun sebagai Sultan. Di era pemerintahan Sultan Murhum, tepatnya tahun 1541 agama Islam yang dibawah Syeh Abd. Wahid bin Zaid Al Fatani resmi sebagai agama Negara. Sultan Murhum dimakamkan di Rahantulu bukit Lele Mangura Benteng. Keraton Buton.
Sultan Himayatuddin Muhammad Saidi
Sultan Himayatuddin Muhammad Saidi merupakan salah seorang tokoh besar yang melakukan perlawanan terhadap imprealisme dan kolonialisme Belanda di Buton. Sultan yang satu ini tidak mengenal kompromo terhadap tindakan kesewenang-wenangan Belanda, baginya perlawanan terhadap Belanda merupakan jihad fiy sabilillah. Himayatuddin terus menerus melakukan perlawanan baik saat menjabat sebagai Sultan maupun telah turun tahta. Beliau keluar masuk hutan untuk melangsungkan strategi perang gerilya hingga tutup usia di gunung Siontapina. Sultan Himayatuddin satu-satunya Sultan Buton yang naik tahta sebanyak 2 (dua) kali dalam kurun waktu 1751 - 1752 untuk kali pertama dan tahun 1760 hingga 1763 untuk kali kedua. Himayatuddin di makamkan di bukit Lelemangura Benteng Keraton Buton.
Sultan Dayanu Iksanuddin
Sultan Dayanu Iksanuddin adalah peletak dasar tonggak demokrasi di Kesultanan Buton. Di masa pemerintahan beliau diundangkan Sarana Wolio sebagai Undang-Undang Dasar Kesultanan Buton. Undang-Undang Dasar tertulis ini didasarkan pada Martabat Tujuh dalam Dunia Sufisme Islam dan Sifat Dua puluh dalam pemahaman aqidah Ahlul Sunnah Wal Jama'ah.
Sultan Dayanu Ikhsanuddin memerihtan tahun 1597 hingga 1631. Dalam kurun waktu tersebut, sistem pemerintahan Kesultanan Buton diatur dan ditata dengan sangat baik, masyarakat Buton dibagi menjadi 72 kadie (golongan) dan 4 Barata (kerajaan Otonom) lengkap dengan hak-hak dan tanggungjawabnya. Di masa Pemerintahannya, Buton untuk pertama kalinya melakukan perjanjian tertulis dengan Belanda dalam bentuk kontrak dagang dan militer, tepatnya tahun 1613. Kontrak Perjanjian ini dikenal dengan perjanjian Laelangi-Appolonius Scoote (Janji Baana).
Sultan Adilil Rahim
Sultan Adilil Rahim memerintah tahun 1664 hingga tahun 1669, di era pemerintahan Sultan dengan nama asli La Simbata ini terjadi perang besar dalam sejarah Nusantara yakni perang Makassar yang berlangsung di selat Buton. Pada tanggal 23 Oktober 1666 Raja Gowa memberangkatkan pasukan sejumlah 20.000 prajurit dibawah pimpinan Karaeng Bonto Marannu dengan satu tujuan, menghukum Buton atas perlindungannya terhadap Raja Bone Arung Palakka. Wal hasil penyerangan Makassar terhadap Buton dapat dipadamkan oleh kekuatan Arung Palakka, Corenelis Spelman dan La Simbata.
Pada tanggal 4 Januari 1667 di atas kapal pemburu "Muysenburgh" di teluk Buton disepakati perjanjian, semua pasukan Makassar dan segala peralatannya, perahu, senjata, mesiu, emas dan perak dengan tidak ada kecuali diserahkan kepada Spelman sebagai pihak yang memenangkan perang. Pada tanggal 31 Januari 1667 di atas kapal "Therloten", Spelman dan Sultan La Simbata menandatangani perjanjian baru antara Buton dan Belanda, dimana semua pohon Pala dan Cengkeh di Kepulauan Tukang Besi harus ditebang dan sebagai gantinya Belanda membayar kepada Kesultanan Buton 100 ringgit setiap tahunnya.
Sultan Syamsuddin
Sultan Syamsuddin merupakan gelar kesultanan dari Sultan La Sadaha yang memerintah tahun 1704 - 1709. Beliau berasal dari golongan bangsawan Tanailandu, menjabat dalam kurun waktu singkat dan setelah turun tahta beliau bergelar Mosabuna yi Kaesabu dan setelah mangkat bergelar Sangia yi Kaesabu.
Sultan Mulharuddin Abd. Rasyid
Sultan Mulharuddin Abd. Rasyid merupakan gelar Kesultanan dari Sultan La Tumparasi yang memerintah tahun 1711 hingga 1712. Beliau memerintah dalam waktu yang cukup singkat dan setelah dimakzulkan beliau bergelar Mosabuna Yi Jupanda, yang berarti Sultan yang dimakzulkan saat berada di Ujung Pandang dan untuk jangka waktu tertentu menetap di Ujung Pandang (Makassar).
Sultan Malik Sirullah
Sultan Malik Sirullah dikenal luas oleh masyarakat dengan gelar Oputa Moposuruna te Arataana yang memerintah selama sepuluh tahun, dari tahun 1654 hingga 1664. Dalam kurun waktu pemerintahannya yang cukup lama, terjadi beberapa hal penting. Diantaranya, di era pemerintahannya, Arung Palakka Raja Bone meminta perlindungan dari Sultan Buton pada tahun 1660. Sultan Malik Sirullah menerima kedatangan Arung Palakka yang diikat dengan satu perjanjian dalam bahasa Bone "Bone Rilao Butung Riyaja" yang berarti Buton adalah Bone di timur dan Bone adalah Buton di barat. Sultan Malik Sirullah wafat dalam masa jabatan dan di makamkan di lingkungan Tanailandu.
Referensi : Berbagai Sumber
0 Response to "Mengenal Prosesi Adat Santiago Keraton Kesultanan Buton"
Posting Komentar