Sejarah Kebudayaan Suku Mbojo

Suku Dunia ~ Mbojo atau dou Mbojo yang biasa pula dinamakan suku bangsa Bima. Mereka berdiam terutama dalam wilayah Bima termasuk Pulau Sangeang dan sebagian lainnya dalam wilayah Kabupaten Dompu, di Pulau Sumbawa, Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Di Bima mereka merupakan kelompok yang jumlah dominan, yang tersebar dalam 10 buah kecamatan, yaitu Kecamatan Sanggar, RasanaE, Wera, Wawo, Woha, Belo, Monta, Sape, Donggo, dan Bolo.

Lingkungan Suku Mbojo

Kabupaten Bima ini seluas 4.596 kilometer persegi. Pulau Sumbawa bagian timur yang menjadi wilayah kediaman orang Mbojo ini bergunung-gunung di bagian tengah, sedangkan di daerah pantai merupakan dataran rendah. Gunung-gunung yang tingginya sekitar 1000-1500 meter adalah gunung Oromboha, gunung Malaka, dan gunung Wowotolodongo. Sungai yang relatif besar di Kabupaten ini ialah sungai Bela. Lebih dari separuh Kabupaten Bima merupakan hutan lebat dan hutan belukar. Tanah persawahan baru sekitar 4 % dan ladang seluas 7 %.

Demografi Suku Mbojo

Pada tahun 1986 penduduk Kabupaten Bima berjumlah 404.383 jiwa. Kecamatan yang terbesar penduduknya adalah Kecamatan RasanaE yaitu 89.179 jiwa dengan kepadatan 401 perkilometer persegi, sedangkan yang paling sedikit adalah Kecamatan Sanggar yaitu 8.475 jiwa dengan kepadatan 7 jiwa per kilometer persegi.

Diantara jumlah penduduk Kabupaten Bima tersebut di atas tidak diketahui secara pasti berapa jumlah Orang Mbojo. Dalam kabupaten ini selain orang Mbojo berdiam pula anggota kelompok suku bangsa lain, seperti orang Bugis, Makassar, Melayu, Jawa, Sasak, Bali, Timor, keturunan Arab, keturunan Cina dan lain-lain

Bahasa Suku Mbojo

Orang Mbojo memiliki bahasa sendiri yaitu bahasa Mbojo yang digunakan sebagai bahasa daerah di Kabupaten Bima. Penutur bahasa Mbojo adalah juga orang-orang Dompu di Kabupaten Dompu, yang merupakan Kabupaten tetangga di sebelah barat Kabupaten Bima. Di kalangan masyarakat Mbojo masa lalu, tulisan Arab-Melayu sangat umum digunakan, yang terlihat pada piagam kerajaan, surat-surat berharga yang menyangkut tanah, ternak dan lain-lain. Akan tetapi pada masa kini tulisan itu sudah semakin jarang digunakan.

Latar Belakang Sejarah Suku Mbojo

Sumber tertentu menyebutkan bahwa orang Mbojo ini berasal dari suku bangsa Donggo yang biasa disebut Dou Donggo. Pada masa silam, masyarakat ini terbagi atas beberapa kelompok, masing-masing bernama Neuhi Dara, Neuhi Dorowani, Neuhi Banggapupa, Neuhi Parewa, Neuhi Bolo. Masing-masing kelompot itu dipimpin oleh seorang kepala kelompok yang disebut Neuhi. Kelima kelompok ini akhirnya disatukan oleh seseorang yang berasal dari Jawa, bernama Sang Bima, menjadi sebuah kerajaan yang dinamakan kerajaan Bima. Kedatangan Sang Bima ini adalah sekitar tahun 1575. Raja ini diberi gelar Sang Aji, yang dalam bahasa Bima atau bahasa Mbojo disebut Sangaji.

Peninggalan sejarah yang mempunyai arti penting dari daerah ini, antara lain: sebuah prasasti di Kecamatan Donggo, batu pahat di kota Bima yang mereka sebut wadu paa yang tampak adanya pengaruh Cina.

Sejak abad ke-16 daerah ini didatangi oleh orang-orang Melayu dan kemudian menyusul pula orang Bugis, Makassar, Mandar, Banjar, Jawa, Cina, Arab. Antara penduduk setempat dan pendatang ini terjadilah pembauran, karena hubungan kedua pihak cukup baik dan diantaranya terjadi kawin campur. Namun demikian, diantara penduduk asal tadi masih ada juga yang merupakan kelompok tersendiri, dan ada pula pengelompokan orang Melayu yang berdiam dalam kampung-kampung yang disebut Kampung Melayu.

Pengaruh Bugis, Makassae cukup besar terhadap budaya orang Mbojo ini. Hubungan antara pihak-pihak itu sangat erat, yang diikat oleh ajaran Islam yang masuk ke daerah ini sejak tahun 1640. Ikatan itu dipererat dengan perkawinan seorang raja Bima dengan putri Goa. Penyebaran ini pada awalnya dilakukan oleh orang Bugis, Makassae dan Minangkabau. Sampai sekarang mahasiswa asal Bima banyak yang melanjutkan studinya di perguruan tinggi di Ujung Pandang.

Pola Perkampungan Suku Mbojo

Desa-desa di Bima merupakan satu kesatuan administratif. Desa-desa itu berada dipinggir jalan atau di tepi sungai. Batas desa seringkali tanah pertanian dari penduduknya atau batas alam. Masyarakat desa umumnya mempunyai tanah pengembalaan yang luas.

Rumah di desa-desa umumnya berupa rumah panggung (uma panggu). Rumah-rumah itu ada yang bertiang enam, sembilan atau dua belas. Dindingnya terbuat dari gedek atau papan. Atapnya berupa alang-alang dan sekarang banyak yang sudah diganti dengan atap genteng. Rumah itu biasanya terdiri dari beberapa bilik. Bagian depan digunakan untuk menerima tamu, dua buah bilik menjadi kamar, dan bilik di bagian belakang digunakan sebagai dapur. Jendela terletak di bagian muka sebelah kiri dan kanan. Tangga terletak di bagian muka dan di bagian belakang.

Mata Pencaharian Suku Mbojo

Orang Mbojo umumnya hidup dari pertanian ladang dan sebagian bercocok tanam di sawah. Mata pencaharian lain adalah menangkap ikan, ternak dan berburu. Dalam pertanian, orang Mbojo juga mengenal sistem subak yang dipimpin oleh seorang Panggawa. Panggawa ini berperan sebagai pembantu kepala Desa dalam bidang pertanian. Wilayah yang diatur oleh seorang Panggawa disebut so ro sera. Menjelang musim hujan Panggawa mengerahkan masyarakat desanya untuk memeriksa bendar-bendar dan bendungan air. Perbaikan bendungan dipimpin oleh seseorang yang disebut Panggita yang mempunyai keahlian dalam hal itu. Setelah itu ada forum musyawarah untuk menentukan kapan akan turun ke sawah. Tanaman selain padi adalah jagung, ketela pohon, ketela rambat, kacang tanah, kacang hijau, bawang, sayur-sayuran, serta buah-buahan. Pasa masa terakhir ternak pun mulai dikembangkan karena daerah ini memang cocok untuk peternakan.

Orang Mbojo memiliki sebuah tradisi dalam berburu yang disebut nggala tengke. Binatang yang diburu adalah rusa, yang diadakan sekali dalam setahun, agar rusa itu tidak punah. Perburuan itu dimulai sekitar jam 8.00 pagi hari. Sekitar 100 orang laki-laki mengelilingi suatu kawasan yang diperkirakan ada rusanya. Pada waktunya, seorang tetua berteriak sebagai aba-aba kepada anggotanya tadi. Komando itu disambut dengan teriakan riuh rendah dan diselingi gonggongan anjing pemburu. Binatang buruan ini digiring ke arah lembah sampai ke laut, dan di laut sudah siap pula orang-orang dalam perahu dengan senjata parang menungggu datangnya rusa yang digiring tadi. Hasil buruan itu sebagian digulai dan dimakan bersama, dan sebagian lain dibagikan kepada para pemburu untuk dibawa ke rumah masing-masing. Pada masa lalu sebagian hasil perburuan itu diserahkan kepada raja sebagai upeti.

Sumber : Ensiklopedi Suku Bangsa Di Indonesia oleh M. Junus Melalatoa

0 Response to "Sejarah Kebudayaan Suku Mbojo"

Posting Komentar