Sejarah Kebudayaan Suku Arfak

Suku Dunia ~ Arfak adalah suku bangsa yang mendiami daerah Kabupaten Manokwari Provinsi Papua. Sebagian besar daerah yang bergunung-gunung ini ditumbuhi hutan lebat dan dialiri oleh banyak sungai. Di sela-sela pegunungannya mencuat puncak-puncak yang tinggi, antara lain gunung Umeen dan gunung Indon dengan ketinggian sekitar 3.000 meter di atas permukaan laut.


Keseluruhan suku bangsa Arfak dapat dibagi atas empat subsuku bangsa, yaitu Manikion, Meiyakh, Hattam dan Moire. Tiap subsuku bangsa ini menggunakan bahasa atau dialek tersendiri dengan nama yang sama dengan nama subsuku bangsa itu masing-masing. Sebenarnya, dalam setiap dialek itu masih ada subdialek lagi.

Kelompk subsuku bangsa tadi mendiami daerah-daerah tertentu dalam wilayah Kabupaten Manokwari. Orang Manikion berdiam di sekitar Danau Anggi, di sebelah utara Bintuni, yaitu di Sungai Ingzim, Sungai Tidehu di sebelah barat hulu Sungai Meiof. Orang Meiyakh mendiami bagian utara Bintuni, di hulu Sungai Meijes, Sungai Meiyakh, Sungai Meimas di Wariori atau hulu Sungai Testega, di hulu sungai Warmori, Sungai Wasirawi, Sungai Weramoi, Sungai Prafi, Amban, Pasir Putih. Orang Hatam berdiam di wilayah Minyambow, di utara danau Anggi, Sungai Ngemou, Sungai Wariori, daerah Indui, di huku Sungai Fanindi, Amban, Pasir Putih, dll. Orang Moire mendiami wilayah Mokwan, hulu Sungai Yeh, hulu Sungai Prafi, dll.

Tiap subsuku bangsa tadi merasa memiliki ciri budaya tersendiri dari kepribadian yang khas. Pada zaman lampau masing-masing kelompok itu saling curiga, terutama dalam hal swanggi dan obat-obatan yang dipercayai bisa menyebabkan timbulnya perang antar kelompok. Saling curiga itu sering menyebabkan timbulnya perang antara kelompok itu. Kemudian dengan masuknya agama yang dibawa Zending dan missi, sikap saling curiga semakin berkurang dan timbul rasa persaudaraan. Yang juga mengurangi rasa curiga ialah adanya hubungan perkawinan diantara anggota kelompok itu. Peraturan dan struktur baru dalam pemerintahan desa yang berasal dari pemerintahan yang lebih tinggi, sedikit demi sedikit mengurangi ketegangan itu.

Pola Perkampungan Suku Arfak

Rumah-rumah di daerah pegunungan itu berupa rumah panggung yang satu dengan yang lain letaknya berjauhan. Satu rumah biasanya didiami oleh anggota kerabat yang masih satu keturunan, dan satu rumah itu hampir bisa dianggap sebagai satu kampung. Mereka biasanya membangun rumah di wilayah subur yang letaknya di lereng-lereng gunung. Syarat-syarat lain yang mendasari pilihan tempat mendirikan rumah ialah faktor keamanan, yakni menhindari kemungkinan adanya serangan dari kelompok lain. Itulah sebabnya rumah mereka didirikan di tempat yang saling berjauhan atau terpencar. Selain rumah tempat tinggal, mereka juga biasanya membuat bangunan kecil untuk tempat melahirkan bagi para istri mereka.

Rumah-rumah kecil ini pada setiap subsuku bangsa mempunyai nama tersendiri, yang di dalam bahasa Manikion disebut tomro. Rumah ini dibuat atas dasar kepercayaan bahwa rumah yang terkena darah dari persalinan akan menjadi kotor. Kekotoran itu akan mendatangkan penyakit, memudahkan terkena panah dalam peperangan, dan lain-lain hal yang merugikan. Selain itu, apabila seorang penghuni sebuah rumah meninggal karena penyakit, bisanya rumah itu akan segera ditinggalkan dan dibuat rumah baru di tempat lain.

Mata Pencaharian Suku Arfak

Sesuai dengan keadaan alam daerah ini, mata pencaharian orang Arfak ialah berladang. Cara bercocok tanam di ladang dilakukan dengan sistem tebang bakar. Mereka mengenal pembagian kerja berdasarkan gender dan umur dalam proses bercocok tanam itu. Tempat berladang dipilih setelah diperhitungkan apakah bebas dari pengaruh magi jahat. Magi jahat itu mereka ketahui, apabila mereka menjadi sakit karena menghirup udara atau makan makanan tertentu di tempat yang akan dijadikan ladang itu. Tanda-tanda buruk lainnya ialah apabila di tempat itu terlihat binatang kaki seribu (aweya) atau cecurut, tikus tanah bermoncong panjang, yang keluar dari dalam tanah.

Tanaman pokok mereka adalah ubi-ubian, misalnya keladi (momos), bete (mom), kiha (mesi), kasbi (mogenang), babatas (mou), kentang, dan jagung. Mereka juga menanam tebu, kacang, pisang. Beberapa jenis tanaman untuk sayuran seperti bawang merah, bawang putih, labu, genemon (maknaofak) dan lain-lain telah mereka kenal dan mereka jual ke pasar. Di daerah tertentu, seperti di daerah Munyambow, Mokwan, banyak tumbuh merkisah dan buah tomat pohon. Merkisah yang berupa tumbuhan liar itu merambat di semak-semak tanpa dipelihara. Di daerah tertentu lainnya tumbuh pohon langsat, durian, rambutan. Kayu yang penting di daerah Arfak antara lain kayu besi, kayu matoa, damar dan keluih (artocarpus).

Orang Arfak juga berburu meskipun kegiatan itu tidak termasuk sebagai pekerjaan penting. Binatang buruan mereka antara lain kuskus, babi hutan, berbagai jenis burung kecil, kelelawar, katak, tikus, burung cendrawasih, biawak, ular. Kulit biawak mereka gunakan untuk menutup tifa. Daging kelelawar dimakan, tulangnya digunakan untuk perhiasan dan alat rumah tangga, misalnya untuk pisau atau mata panah. Buru burung cendrawasih diambil sebagai perhiasan. Penangkapan ikan juga hanya merupakan pekerjaan sambilan. Mereka menangkap ikan dengan membendung anak sungai dan memberi tuba. Mereka juga menggunakan pancing dengan mata kail dari duri yang diberi umpan katak atau belalang.

Sistem Kekerabatan Suku Arfak

Hubungan kekerabatan orang Arfak adalah hubungan darah, hubungan karena perkawinan, dan hubungan kerabat fiktif, artinya hubungan akrab yang berasal dari leluhur. Orang Arfak tidak biasa mempunyai pengetahuan tentang anggota kerabat dari angkatan yang jauh. Mereka hanya memperhatikan anggota kerabat yang masih hidup sampai derajat kedua saja. Mereka menarik garis keturunan berdasarkan prinsip bilateral, artinya hubungan keturunan itu diperhitungkan melalui ayah dan ibu. Hubungan kerabat karena perkawinan menyebabkan mereka mengenal mertua, ipar, menantu, semua istri atau suami saudara-saudara mereka. Pada umumnya tiap kelompok kerabat di satu daerah tidak lagi mengetahui nenek moyang pendiri kelompok itu, mereka seolah-olah tidak mengindahkan hal-hal semacam itu.

Sistem Kepercayaan Suku Arfak

Dalam hal kepercayaan, orang Arfak sangat percaya akan adanya kekuatan tertentu pada benda, binatang, dan tumbuh-tumbuhan. Kekuatan itu dapat digunakan untuk menyakiti atau membunuh orang lain. Kepercayaan semacam inilah yang menyebabkan selalu adanya saling curiga di kalangan kelompok kecil maupun besar. Untuk mengatasi hal itu mereka mengenal adanya peranan dukun. Sebaliknya dalam masyarakat Arfak ini tidak jelas adanya tokoh dewa yang mereka yakini. Oleh sebab itu tidak tampak adanya upacara-upacara terhadap tokoh semacam itu.

Sumber : Ensiklopedi Suku Bangsa Di Indonesia oleh M. Junus Melalatoa

0 Response to "Sejarah Kebudayaan Suku Arfak"

Posting Komentar