Sejarah Kebudayaan Suku Banyumas

Suku Dunia ~ Orang Banyumas adalah salah satu sub kelompok orang Jawa yang memiliki variasi kebudayaan tersendiri dibandingkan dengan sejumlah sub kelompok Jawa lainnya. Variasi budaya orang Banyumas ini biasa disebut budaya Banyumas, yang ditandai oleh sejumlah variasi unsur kebudayaannya, misalnya dialek bahasa yang digunakan, kesenian rakyat, upacara-upacara rumah tangga, makanan, dan lain-lain.


Orang Banyumas berdiam di bagian barat daerah kebudayaan Jawa, terutama di sekitar aliran sungai Serayu. Daerah itu bisa juga disebut yang dahulu merupakan daerah keresidenan Banyumas, dan yang kemudian menjadi empat kabupaten, yaitu Kabupaten Banyumas, Kabupaten Purbalingga, Kabupaten Banjarnegara, dan Kabupaten Cilacap. Dari cerita rakyat dikenal bahwa nama Kota Banyumas dahulunya adalah Selarong. Nama Selarong berubah menjadi Banyumas mulai dari suatu peristiwa dimana orang berteriak-teriak menyambut datangnya hujan setelah masyarakat dan daerah ini dilanda kemarau panjang. Pada saat turun hujan itu orang-orang berteriak : banyu, banyu, emas, emas; artinya mereka merasa sangat gembira mendapatkan air (banyu) itu seperti mendapatkan emas layaknya.

Bahasa yang digunakan oleh orang Banyumas biasa disebut bahasa Banyumasan. Bahasa ini merupakan salah satu dialek dari bahasa Jawa yang penuturnya terdapat di keempat wilayah kabupaten tersebut diatas. Dialek ini juga dipakai di daerah-daerah yang dahulunya pernah masuk wilayah kekuasaan para bupati Banyumas, misalnya daerah Gombong, Kebumen, dan Karanganyar. Bahasa Jawa umumnya mempunyai tingkatan dalam penggunaannya, yaitu ngoko, krama dan krama inggil. Orang Banyumas umumnya lebih suka menggunakan bahasa ngoko atau ngoko andhap terutama antara sesama orang Banyumas yang dirasakan lebih akrab. Hal ini karena daerah mereka relatif jauh dari lingkungan kraton.

Mereka mengenal tari-tarian menggunakan topeng yang disebut tarian angguk atau topeng angguk. Tarian lainnya adalah tarian laran-laran atau bedhaya. Di kalangan masyarakat desa juga ada pula penari-penari taledhek yang tergabung dalam rombongan dan penari akrobat serta sulap yang dinamakan langger. Orang Banyumas juga sangat menggemari wayang kulit. Dalangnya menggunakan dialek Banyumas untuk memerankan tokoh-tokoh punakawan, tetapi dalam memerankan tokoh-tokoh pahlawan digunakan bahasa kesusastraan Jawa yang halus. Daerah Banyumas ini juga memiliki Meuseum Wayang dengan nama "Sendhang Mas", yang merupakan singkatan dari Seni Pedalangan Banyumas. Koleksi museum ini berisi antara lain wayang kulit gagrak Banyumas, gagrak Solo, gagrak Yogyakarta.

Data tahun 1989 menunjukkan sebagian besar (97,93 %) warga Kabupaten Banyumas memeluk agama Islam. Selebihnya beragama Kristen, Budha, dan Hindu. Namun, kepercayaan leluhur masih tersisa dalam sistem kepercayaan masyarakatnya, yang dapat diketahui dengan adanya nama-nama makhluk halus seperti bujungan, gendruwo, dhemit, dan lain-lain. Mereka juga mengadakan upacara sehubungan dengan kehamilan tiga bulan, empat bulan (ngupati), tujuh bulan (mitoni), sembilan bulan (mrocoti). Seterusnya masih ada upacara-upacara dalam kaitannya dengan jenjang-jenjang dalam lingkaran hidup individu (life cycle).

Dalam rangka memperingati hari besar Islam, seperti bulan Sura, bulan Maulud, mereka juga melakukan upacara-upacara yang bersifat khas Jawa yang sinkritisme. Dalam bulan Sura itu mereka mengadakan pertunjukkan wayang dan menziarahi makam leluhur yang dianggap keramat. Dalam bulan Maulud mereka menyucikan benda-benda pusaka seperti keris, cundrik, tombak, yang merupakan peninggalan Sunan Amangkurat I. Pusaka ini ditinggalkan di desa Kalisalak dalam pelariannya ke Batavia karena pemberontakan Trunojoyo. Upacara pencucian itu disebut "siraman jiat". Biasanya upacara ini akan dikunjungi oleh ribuan orang yang datang dari daerah-daerah di Jawa Tengah yang tujuannya untuk memperoleh berkah (ngalap berkah).

Seperti telah disinggung di atas, orang Banyumas ini selain sebagai bagian dari etnik Jawa yang mewujudkan ciri budaya Jawa umumnya, mereka juga menunjukkan kekhasan dalam unsur-unsur budaya tertentu. Unsur makanan sering memberi ciri dari masyarakat daerah ini, misalnya kripik Purwokerto gethuk, Soka raja. Unsur makanan lain yang dianggap khas adalah: nopia, buntil, sroto, gembus, ciwel, dan lain-lain. Batik Banyumas mirip dengan batik Surakarta. Namun ada ciri khusus pada batik Banyumas, dimana motifnya kebanyakan miring, tidak ada wiron, wana coklat kekuning-kuningan. Batik Banyumas ini tidak sehalus batik Surakarta.

Sumber : Ensiklopedi Suku Bangsa Di Indonesia oleh M. Junus Melalatoa

0 Response to "Sejarah Kebudayaan Suku Banyumas"

Posting Komentar