Suku Dunia ~ Bayan adalah satu komunitas yang merupakan bagian khusus dari masyarakat suku bangsa Sasak. Komunitas ini seolah terpusat pada sebuah desa, yang bernama Desa Bayan, sebagai bagian dari wilayah Kecamatan Bayan, Kabupaten Lombok Barat, Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Akan tetapi pengamal adat-istiadat atau sistem religi seperti di desa Bayan itu tersebar pada berbagai dusun di enam desa dalam wilayah Kecamatan Bayan, bahkan terdapat juga di Lombok Tengah.
Kecamatan Bayan terletak di bagian utara pulau Lombok di sekitar kaki gunung Rinjani, Dusun-dusun tersebut di atas adalah Dusun Bayan Belek Timur dan Belek Barat (desa Bayan), Dusun Bumamar, Boyotan Asli (Desa Selengan), Dusun Batu Gembung (Desa Akar-Akar), Dusun Semokabang, Semalangkara, Sani, Karang Tanggul, Batu Menjangkung, Batusan (Desa Anyar), Dusun Loang Godek, Batu Gerantung, Tanjung Bi desa Loloan. Masyarakat Desa Bayan ini dideskripsikan secara khusus di luar masyarakat Sasak, karena adanya hal-hal khas di samping secara umum mereka bagian dari masyarakat Sasak. Sementara pengamat mengkategorikan masyarakat Bayan ini sebagai "masyarakat terasing" seperti yang ditulis oleh Adonis (1989). Masyarakat Bayan ini karena adanya kekhasan adat atau religinya itu telah menjadi bahan berita populer dari berbagai media masa di Indonesia.
Jumlah orang Bayan yang tersebar di berbagai desa tadi tidak dapat diketahui secara tepat di berbagai desa tadi tidak dapat diketahui secara tepat. Gambaran yang bisa diperoleh adalah penduduk Kecamatan Bayan secara keseluruhan, misalnya pada tahun 1987 berjumlah 38.467 jiwa, yang termasuk anggota masyarakat yang bukan orang Bayan.
Orang Bayan berdiam dalam rumah yang disebut bale jajar dengan tiang-tiang di tanam di tanah, dindingnya terbuat dari bambu serta atap ilalang. Rumah ini terdiri dari dua atau tiga buah ruangan. Selain itu ada beruga yaitu bangunan khusus untuk menerima tamu yang terletak di depan rumah induk tadi. Bangunan lain yang penting adalah lumbung padi (sambi) yang merupakan bangunan panggung, tiangnya kayu nangka atau pohon kelapa. Dinding lumbung ini biasanya berupa anyaman bambu, dan atapnya ilalang atau daun kelapa. Kini rumah-rumah tadi sudah banyak yang berubah dengan atap genteng dan bangunan setengah permanen.
Selain rumah anggota masyarakat biasa ada pula kompleks bangunan yang disebut kampu yang dimiliki oleh pemangku adat. Kampu dianggap sebagai kemalig atau tempat suci dalam pelaksanaan kegiatan sosial atau keagamaan, tempat berlindung dari penguasa alam. Kompleks kampu terdiri dari antara lain becingah atau ruang depan untuk memasuki kompleks itu. Disini terdapat empat bangunan yang hampir sama bentuknya tetapi mempunyai fungsi yang berbeda. Bangunan pertama disebut Barugak Agung dan yang didepannya dinamakan Barugak Malang. Barugak Agung tempat paling banyak digunakan untuk upacara, sedangkan Barugak Malang tempat meletakkan macam-macam makanan. Bangunan lainny disebut Barugak Sembagek dan Barugak Jangan. Di bagian dalam ada bangunan yang dinamakan Santren sebagai tempat melaksanakan upacara perkawinan. Di dalam ada pula tiga bangunan, yang satu merupakan Baruga dan yang lain tempat petugas agama yang disebut Pemangku Beleg, Bale Belek adalah rumah agung yang selalu dalam keadaan kosong, tempat raja menerima tamu-tamunya.
Orang Bayan hidup dari pertanian ladang dan sawah. Kegiatan tambahan di luar pertanian itu adalah membuat kerajinan anyaman dan bertenun. Pengolahan tanah sawah dikerjakan dengan cara membole, yaitu melumatkan tanah dengan bantuan kaki kerbau yang digiring di tengah petak sawah itu yang diiringi dengan "nyanyian" sebagai komando terhadap kerbau itu. Cara yang lain adalah menggara artinya mengolah tanah sawah dengan menggunakan bajak (lenggara). Proses selanjutnya menanam dan menunggu hingga masa panen tiba. Pertanian ladang juga menggunakan bajak setelah dibersihkan dan dicangkul terlebih dahulu. Di ladang itu mereka menanam jagung, kacang ijo, kacang panjang, gandum dan kadang-kadang padi. Dalam kaitannya dengan pertanian tadi mereka juga memelihara ternak kerbau dan sapi.
Orang Bayan mengenal beberapa macam usaha kerajinan, baik sebagai pengisi waktu senggang untuk pemenuhan kebutuhan sendiri maupun untuk sumber pencaharian tambahan. Mereka bertenun, membuat barang-barang anyaman, barang-barang dari tanah liat, serta alat-alat rumah tangga lainnya. Barang anyaman seperti macam-macam bakul, wadah berupa tas atau keranjang untuk pergi ke sawah atau ladang.
Orang Bayan pernah menganut agama Islam yang disebut Islam Wetu Telu ("Islam Waktu Tiga"), yang sekarang penganut kepercayaan itu konon semakin berkurang jumlahnya. Islam Waktu Tiga adalah suatu sistem kepercayaan yang dianut oleh sekelompok orang Sasak di beberapa desa di Pulau Lombok ini. Sistem kepercayaan ini terkait dengan ajaran Islam murni, yang mereka sebut "Islam Waktu Lima". Pengikut Islam Waktu Tiga percaya kepada Allah SWT, Nabi Muhammad SAW sebagai utusan Allah, dan Al Quran sebagai kitab sucinya. Menurut Jalaluddin Arzaki, pemerhati budaya Bayan, istilah Wetu Telu itu sendiri tidak pernah dikenal di awal perkembangan Islam di pulau Lombok, istilah itu dikenal sejak Belanda masuk ke pulau ini, dan menajamkan istilah itu dengan "Waktu Lima" untuk memecah belah sesuai dengan naluri penjajah.
Dalam pelaksanaannya, mereka melakukan upacara-upacara yang banyak menyimpang dari ajaran Islam yang murni. Merea hanya melaksanakan empat dari lima rukun Islam, yaitu syahadat, shalat, zakat, dan puasa, sedangkan ibadah haji tidak mereka kenal. Orang yang wajib menjalankan ajaran itu terbatas pada orang-orang yang disebut kiai atau lebe atau guru. Orang yang bukan kiai tidak perlu mengerjakan ibadah, karena sudah diwakili oleh para kiai.
Kelompok ini memiliki mesjid, yang hanya diperuntukkan bagi para kiai yang melaksanakan shalat Jumat, Shalat Idul Fitri (Lebaran Nina), Shalat Idul Adha (Lebaran Mama). Para kiai juga mempunyai surau tempat melakukan sembahyang shubuh, lohor, asar, magrib, dan isya. Pada bulan puasa, surau menjadi tempat sembahyang tarawih dan mengaji Al Quran. Ibadah puasa dilakukan oleh para kiai selama satu bulan penuh, sedangkan umat yang lain berpuasa pada tiga hari pertama, tiga hari di pertengahan, dan tiga hari terakhir.
Mereka merayakan semua hari besar Islam, seperti Maulud Nabi Muhammad SAW, Isra Mikraj, Ruwah, Idul Fitri, Idul Adha, dll. Perayaan hari besar Islam lebih menitik beratkan penghormatan kepada roh leluhur, yang dianggap perantara untuk memohon kepada Tuhan. Ikut merayakan hari raya Islam bagi mereka berarti telah melaksanakan tugas-tugas keagamaan. Penghormatan kepada leluhur dilakukan dengan cara pergi ke kuburan untuk makan bersama dan meminta keselamatan, dll.
Transformasi ajaran agama itu dilakukan oleh para kiai dan sudah berlangsung sejak abad ke-16. Setiap kiai harus membina enam orang santri. Bila ilmu santri tersebut sudah luas dan dalam, ia dilantik menjadi kiai. Kiai baru ini harus pula membina enam santri lagi sampai menjadi kiai, dan seterusnya sehingga ajaran itu tersebar luas. Namun dalam kenyataannya ajaran tersebut tidak cepat berkembang, bahkan makin lama jumlah pengikutnya makin berkurang. Makin banyak anggota generasi muda memilih menjadi pengikut ajaran Islam yang murni. Yang masih terus mengamalkan ajaran itu adalah orang-orang tua.
Mereka mengenal kalender Windu, dalam rangkaian delapan tahun, yang tahun pertama dinamakan Alip dan seterusnya adalah Ehe, Jimawal, Se, Dal, Be, Wan, dan Jimakhin. Pada setiap tahun Alip diadakan upacara yang disebut Ngaji Alip, yang artinya setiap delapan tahun sekali. Lewat upacara ini mereka mengagungkan keesaan Allah. "Alip" itu tegak dan satu, dan ini merupakan simbol keesaan tadi, dimana dahulu para pemuka agama itu mengajarkan agama kepada jemaahnya dengan menggunakan simbol-simbol.
Sumber : Ensiklopedi Suku Bangsa Di Indonesia oleh M. Junus Melalatoa
0 Response to "Sejarah Kebudayaan Suku Bayan"
Posting Komentar